Pemetaan Partisipatif
Pemetaan partisipatif adalah cara yang terbaik dalam mengurangi konflik perusahaan dengan masyarakat dan pemilik tanah adat atau lahan.
karena sudah banyak pelajaran yang di alami masysrakat di papua karea adanya konflik lahan.. dan banyak aktivitas atau lembaga NGO yang melakukan pemetaan partisipatif diana menghadirkan semua pemilik lahan dan ondoafi dalam memutuskan secara bersama apakah lahan ini bisa di gunakan pengusaha atau tidak..mari kita baca salah satu contoh di bawah ini :
Hal ini mengemuka dalam Journalist Class bertema “Pemetaan
Partisipatif Kunci Penguatan Masyarakat Adat Papua”, di Jayapura, Papua,
Kamis (23/10/14). Turut hadir sejumlah media nasional dan Papua,
termasuk Mongabay.
Acara ini terselenggara kerjasama Yayasan Perspektif Baru (YPB),
Samdhana Institute dan PT PPMA. Turut menjadi narasumber antara lain,
Deny Rahadian, direktur eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP); direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), Laurens Lani; kepala
bagian Registrasi Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua,
Yulianus Keagop dan Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan
Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Zadrak Wamebu.
Deny Rahadian banyak menjelaskan definisi dan proses pemetaan, yang
dimulai sosialisasi, lokakarya, pengambilan data di lapangan, proses
pembuatan peta hingga digitasi. Hasilnya, dirembukkan dalam komunitas
itu sebelum disahkan komunitas dan diajukan ke pemerintah. Lalu,
diintegrasikan dengan kebijakan tata ruang pemerintah daerah.
Menurut Deny, peta ini alat membantu masyarakat menentukan ruang kelola berupa dokumentasi dan dokumen sosial.
“Ini harus mengingat selama ini budaya tutur kita sangat kuat, sementara budaya dokumentasi lemah,” katanya.
Pemetaan partisipatif, katanya, menjadi penting agar batas-batas
wilayah adat dan perusahaan menjadi jelas. “Ini alat efektif menentukan
batas wilayah dan pengorganisasian masyarakat. Bisa menjadi alat
advokasi di daerah dan nasional.”
Menurut dia, ada tiga hal mengapa pemetaan partisipatif penting. Pertama,
banyak konflik keruangan, penyerobotan lahan, tumpang tindih
pengelolaan, konflik batas, konflik penguasaan dan pengaturan sumber
daya alam.
Kedua, posisi tawar masyarakat lemah akibat tidak ada bukti
tertulis wilayah kelola mereka. Ketiga, pelibatan masyarakat lemah
dalam proses pembangunan.
Secara nasional, perkiraan luas indikatif wilayah adat mencapai 42
juta hektar, berdasarkan analisis spasial menggunakan Geografic
Information System (GIS). Versi lain menggunakan metode groundcheck
melalui FGD pada 13 DAS sekitar 40 juta hektar.
“Luasan indikatif menggunakan kedua pendekatan ini tidak jauh beda. Jumlah tak begitu jauh.”
Menurut dia, satu upaya mendukung proses pemetaan partisipatif
melalui pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Ia dibentuk
atas inisiasi sejumlah lembaga, antara lain JKPP, Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), dan sejumlah lembaga lain.
“BRWA ini proses pengakuan melalui registrasi bersifat adhoc, hanya
proses antara, sebelum pemerintah membentuk badan sendiri terkait ini.”
Deny menyinggung, menuju kebijakan satu peta (one map Indonesia),
sebagaimana salah satu visi misi pemerintahan Jokowi. Selama ini, ada UU
acuan dan memuat dasar IGT, yaitu UU Kehutanan, UU ESDM, UU Pemda, UU
Penataan Ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Selama ini, IGT yang tidak merujuk satu sumber peta dasar, hingga
menimbulkan kesimpangsiuran, masing-masing dengan peta sendiri. “Ketika
ditanyakan ke BIG bagaimana penyatuan, mereka selalu bilang bukan
wewenang mereka.”
Papua, selama ini dianggap salah satu pelopor dalam pemetaan
partisipatif, karena sejak 2002. Di Jayapura, kini terdapat sembilan
komunitas adat sudah pemetaan wilayah dan kini proses pengakuan
pemerintah daerah melalui SK Bupati.
Menurut Zadrak, pemetaan partisipatif penting karena keberadaan
masyarakat hukum adat tidak begitu diakui dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Pengakuan masyarakat adat yang mempersyaratakan keberadaan dan
pelaksanaan, katanya, kurang tepat.
Syarat keberadaan, misal, antara lain komunitas baru diakui bila ada
sekelompok orang terikat oleh hukum adat dan menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Ada wilayah adat atau tanah dan terdapat aturan
hukum penguasaan dan penggunaan tanah.
Syarat pelaksanaan, berlaku ketika eksistensi terpenuhi. Dalam pelaksanaan harus “sesuai kepentingan nasional dan negara”.
“Ini justru membingungkan dan memberi ruang kepada semua pihak menafsirkan sesuai kepentingan.”
Zadrak menilai, negara dapat mengizinkan BUMN maupun BUMS mengelola
untuk mendatangkan keuntungan bagi negara. Masyarakat adat justru tidak
mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi.
Dia menyoroti, kebijakan orda baru yang memperlakukan wilayah Papua
sebagai daerah tak bertuan. Pemerintah menggunakan sejumlah UU sebagai
acuan, seperti UU Agraria, UU Kehutanan dan UU yang terkait tambang
minyak dan gas bumi.
Pemerintah mengelola kekayaan bumi dan air dalam skala besar dan
merusak lingkungan serta mengganggu ekosistem. Masyarakat hanya dapat
semacam dana kompensasi hak ulayat dengan nilai tidak sebanding.
Dampak lain, perubahan pola hidup masyarakat. Semula menggantungkan
diri pada kekayaan alam sesuai kebutuhan.Kini, bahan konsumsi dari luar
yang menggunakan uang. “Perusahaan pun tidak menggunakan tenaga kerja
lokal karena tidak memenuhi standar kerja pengelola.”
PMAA, kata Zardak melakukan sejumlah pemetaan sosial di Jayapura dan
sekitar, termasuk peta tematik. Salah satu di wilayah adat Namblong,
dengan luas wilayah 45.000 hektar.
“Daerah lain masih draf antara lain di Kemtuik dan Sentani. Kemtuik
finalisasi menunggu pengesahan, di Sentani masih draf awal. Ada juga
komunitas Moi, kita sudah sosialisasi awal.”
Di Moi, Kampung Klayili, Sorong, Papua Barat, kini menghadapi
konflik dengan PT Henrison Ini Persada (HIP). “Laporan Telapak dan
Environmental Investigation Agency 2012 menemukan HIP memarjinalkan
warga dengan membayar rendah lahan dan kayu masyarakat Moi. Saat ini
masyarakat Moi berjuang melawan alih fungsi hutan ini.”
Pemetaan partisipatif diakui Direktur YBAW, Laurens Lani, merupakan
pekerjaan tidak mudah. Medan pemetaan luas dengan kondisi geografi
menantang, juga kendala resistensi dari sejumlah pihak yang terganggu
dengan pemetaan.
“Saya pernah mendapatkan ancaman Bupati yang merasa terganggu karena mungkin di kawasan itu ada lahan usahanya.”
Tantangan lain, tuduhan menghasut masyarakat dan persoalan internal
di masyarakat adat itu sendiri. “Misal, dualisme adat, antara dewan adat
dengan lembaga masyarakat adat, membuat struktur adat tidak jelas.”
YBAW melakukan pendampingan pemetaan komunitas Baliem, Kabupaten
Jayawijaya. Tantangan, alam kawasan ini cukup berat karena di ketinggian
antara 2.000-3.000 dpl, sebagian besar gunung dan lereng terjal.
Pemetaan partisipatif di Papua, khusus di Jayapura mendapat dukungan
pemerintah daerah. Bupati Jayapura, Mathius Awoithuw, 13 Oktober 2014,
di Grime, menandatangani peta wilayah adat Klesi-Kemtuik.
Mereka juga mendapat dukungan Kemitraan Institute dan Samdhana
Institute. Samdhana juga mendorong pengakuan hukum peta yang dibuat
masyarakat, dan membantu masyarakat mengembangkan kemampuan mengelola
tanah masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar