Minggu, 04 September 2016

Pemerintah pusat dan provinsi Maluku polimik konsep pengembangan Kilang Gas Abadi di Blok Masela, Maluku Tenggara Barat



AMBON,AE— Pemerintah pusat dan provinsi Maluku diingatkan agar tidak larut dalam polimik konsep pengembangan Kilang Gas Abadi di Blok Masela, Maluku Tenggara Barat. Namun, meneliti secara seksama izin produksi. Pasalnya, diduga ada kandungan lain, selain gas di Masela yang bisa diambil oleh Inpex Limited.
Viska Rolobessy, lulusan teknik Pertambangan dan Gas UPN Veteran Jogyakarta mengatakan, hal yang perlu dipikirkan dengan matang oleh pemerintah daerah maupun pusat, adalah isi kontrak eksploitasi atau produksi. Menurut Viska, pemerintah harus jeli melihat isi kontrak. Sebab, biasanya di dalam izin hanya minyak, misalnya, namun kandungan lainnya dapat diambil.
“Selain itu, kontraknya Blok Masela juga harus jelas. Jangan seperti Freport lagi. Menghasilkan emas, nikel, bahkan uranium, bilangnya cuman tembaga. Kontrak itu harus betul-betul dikaji,” tandas Viska belum lama ini kepada Ambon Ekspres.
Pasalnya, menurut Viska, di Masela bukan hanya minyak. Namun, juga terdapat kandungan minyak dan kandungan lainnya, karena kawasan perairan sekitar Masela merupkan pusat Hydrothermal.
“Sirtum kita, bukan cuman gas bumi. Tapi, minyak juga ada. Karena lokasi ini adalah pusat Hydrothermal. Jadi, ada minyak, gas bumi, dan kandungan lainnya. Kalau, misalnya, Inpex punya izin eksplorasi lanjut, mungkin mereka bisa menemukan residu maka sumber aspal pun ada,”jelas dia sambil menunjuk lokasi Lapangan Gas Abadi, Blok Masela yang terletak di Laut Arafura, sekitar 800 km sebelah timur Kupang, Nusa Tenggara Timur itu.
Selain itu, dia berharap pemerintah menyiapkan sumber daya manusia (tenaga kerja) yang professional. Kemudian, mensosialisasikan kepada masyarakat terkait gas dan perminyakan.
Jangan cuman berdebat soal of shore atau on shore. Tapi, kita harus lihat dulu sumber kandungan alam apa didalamnya. Pemikiran masyarakat Maluku harus dibuka dulu mengenai hal ini. Supaya mereka tahu. Jangan, pemerintah hanya berdebat soal on shore atau off shore,”kata dia, mengingatkan.
Onshore Lebih Baik
Sementara itu, dia menilai, jauh lebih baik, jika membangun kilang gas alam cair di darat (On shore LNG Plant). Sebab, jika di darat, memiliki multiplier effect (efek ganda) lebih besar.
“Terbuka lapangan kerja bagi penduduk lokal, itu sudah pasti. Kemudian, bisa berkembang menjadi Petrokimian atau industri yang berkembang berdasarkan suatu pola yang mengaitkan suatu produk-produk industri minyak bumi yang tersedia, dengan kebutuhan masyarakat akan bahan kimia atau bahan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bisa dijadikan pupuk bagi petani disana,”kata dia.
Viska melanjutkan, bisa juga berkembang menjadi pusat industry Petrokimia. Selain itu, jika hasil ekplorasi terdapat residu atau kotoran minyak mentah, dapat dimanfaatkan sebagai aspal.
“Gas di Blok Masela ini kan abadi, maka lokasi pengelolaan ini bisa menjadi salah satu daerah penghasil aspal dari aktivitas perminyakan tersebut. Bukan hanya limbah, tapi gas buminya bisa dimanfaatkan juga,”paparnya.
Dia mengaku, memang ada resiko kerusakan lingkungan dan tatanan sosial masyarakat setempat jika dikelola di darat. Namun, menurutnya, kerusakan lingkungan tidak terlalu signifikan, karena tahapan pengolahannya tidak sederhana, dibandingkan dengan pertambangan.
“Namun, bagi saya tidak terlalu berdampak. Kenapa saya katakan resiko kerusakan lingkungannya kecil? karena pengelolaan minyak beda pengolahan tambang. Pakai pipa tersendiri. Bukan pembuangan keluar atau ke alam seperti penambangan,” jelas dia.
Dari sisi anggaran, Vika mengaku, memang mahal jika pengembangannya di darat (onshore). Namun, incomenya lebih jauh lebih besar bagi masyarakat Maluku, khusus Maluku Barat (MBD) serta Maluku Tenggara Barat (MTB).
“Pembiayaan awal untuk pembangunan rignya, memmang mahal jika dilakukan di darat. Tapi, incomenya jauh lebih besar lagi. Bisa untuk pembangunan Maluku, dan MBD khususnya,”tuturnya.
Sedangkan, lanjut dia, jika dikelola di laut (off shore), maka resiko pertama adalah harus persaingan tenaga kerja. Apalagi, Inpex Ltd merupakan perusahaan asing, maka tentu hanya beberapa persen saja masyarakat MTB dan MBD atu Aru yang dipekerjakan. Sisahnya, orang asing.
Pengamat lingkungan Unpatti, Abraham Tulalessy mengaku heran dengan hitung-hitungan pembiayaan yang disampaikan pemerintah soal pengelolaan kilang. Dia membandingkan proyek FLNG punya inpex yang dibangun di blok Predule, Australia dengan kapasitas yang lebih kecil dari FLNG Masela menghabiskan biaya 26 miliar dollar.
“Kenapa FLNG Masela yang kapasitasnya jauh lebih besar bahkan terbesar di dunia koh pembiayaannya hanya 14 miliar dollar? Ini kan jauh lebih murah dari FLNG di Predule. Ada apa ini? Bayangkan selisihnya sebesar 11 miliar dollar,” kata dia.
Dia juga mengeritik usulan pembangunan lokasi storage LNG di Aru. “Dari Aru jaraknya kan sekitar 600 kilometer. Sementara dari Selaru, Maluku Tenggara Barat berjarak 90 kilometer atau dari Pulau Babar MBD 90 kilometer. Saya menduga, ini dibuat agar terlihat bahwa pengelolaan di darat mahal,” kata dia.
Ekonom asal Universitas Pattimura, DR Djufry Rays Pattilowu berpendapat, alasan opsi offshore sangat tendensius pada kepentingan ekonomi parsial dan jangka pendek. Soal aspek ekonomi yang menjadi pertimbangan utama, itu juga debateble.
“Sebab, pembangunan kilang di laut, berikut fasilitas pengangkutan serta teknologi tinggi yang digunakan juga butuh biaya besar dan inefisiensi pada skala ekonomi. Sementara, dampak eksternalitas ekonomi bagi masyarakat setempat sangat minim.
Padahal UU 1945 (pasal 33) menegaskan, bahwa tujuan pengelolaan SDA adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, pemerintah daerah dan pusat serta masyarakat Maluku harus satu suara untuk mendorong pembangunan kilang di darat,” kata dia.
Sementara itu, Senior Manager Communication and Relations Inpex Ltd, Usman Slamet yang dihubungi via seluler, Senin (8/2) mengaku, dalam kontrak, hanya gas yang akan diproduksi. Namun, lanjutnya, pasti terdapat kandungan energy lain yang ikut tersedot saat proses pengeboran dilakukan.
“Kalau di dalam kontrak, hanya gas. Tapi, perlu kita ketahui, bahwa gas akan disedot dengan melalui kepala bor. Jadi, yang keluar dari liquid, itu nggak hanya gas. Tapi, ada campuran lainnya. Ada kondensatnya, ada air, ada gas-gas lainnya yang ikut tersedot,” ungkap dia.
Disingggung konsep pengembangan lapangan gas abadi tersebut, Usman menyatakan, pihaknya tetap pada Plan of Development (rencana pengembangan) di laut atau offshore yang diusulkan sejak 2010 dan direvisi setelah ditemukan kandungan gas yang lebih besar di Masela. Akui dia, konsep tersebut telah dikaji secara matang, baik terhadap dampak lingkungan, sosial budaya dan ekonomi.
“Konsep FLNG atau offshore, itu berdasarkan hasil studi dan kajian bertahun-tahun. Dari sisi ekonomi projectnya, dampak lingkungannya kecil, gangguan terhadap sosial budaya dan juga terbaik dari sisi efek gandanya,” papar dia.
Dia berharap, konsep FLNG yang diusulkan, akan disetujui oleh pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo. Disisi lain, Inpex Ltd juga berharap agar Jokowi segera memutuskan pengembangan lapangan gas abadi di Blok Masela itu.
“Pertama, kita yakin dan percaya bahwa usulan POD untuk FLNG adalah konsep yang terbaik untuk pengembangan gas abadi ini untuk semua pihak. Kedua, harapan Inpex adalah pemerintah harus segera menerbitkan keputusan soal pengembangannya,” imbuhnya.
Apakah sudah ada informasi pertemuan Jokowi dengan Inpex Ltd dan Shell untuk membicarakan kepastian pilihan pengembangan? dia mengaku, belum mengetahuinya. ”Karena pemerintah yang bertemu dengan Inpex dan Shell, ya kita tunggu kepastian dari beliau (Jokowi) saja kan,”tukasnya.
Perlu diketahui, Blok Masela adalah salah satu blok yang memiliki cadangan gas terbesar di Indonesia. Cadangannya mencapai 10,73 Trillion Cubic Feet (TCF). Begitu besarnya jumlah cadangan tersebut, hingga Blok Masela juga biasa disebut Lapangan Abadi. Pengolahan gas Blok Masela di bawah kendali Inpex Masela Ltd (65 persen) dan Shell Upstream Overseas Services Ltd (35 persen).
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Masela ditandatangani pada 16 November 1998 dan direncanakan berakhir pada tahun 2028. Kontrak ini mencantumkan persetujuan Plan of Development (POD) I pada Desember 2010. 2014, Inpex Ltd mengajukan revisi POD dengan perubahan skenario fasilitas produksi Floating LNG (FLNG) dari 2,5 MTPA menjadi 7,5 MTPA. Usulan ini diajukan Inpex karena setelah dilakukan pengeboran pada tahun 2013-2014, cadangannya diidentifikasi jauh lebih besar yaitu 10,37 TCF.
Pengelolaan blok Masela 10 tahun pertama adalah masa eksplorasi. Sedangkan 20 tahun sisanya adalah masa produksi. Pada kontrak tersebut, disebutkan 15 persen hasil gross penjualan diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Maluku mendapatkan 10 persen.
Kini, Gas Masela sudah masuk tahap produksi. Pihak Inpex Masela Limited dan Kementrian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) setuju pengembangannya di laut (offshore). Tapi, menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, dilakukan di darat (onshore). Keputusan terkahir pada Presiden, Joko Widodo yang mengaku akan menentukan di darat atau di laut setelah bertemu dengan Shell. (TAB)
Pembangunan Ladang Gas Blok Masela
Ladang gas abadi blok Masela di laut Arafuru teletak antara kabupaten Maluku Barat daya dan Maluku Tenggara Barat. Saat ini blok Masela masih dalam tahap pembangunan. Diperkirakan pada tahun 2017 ladang blok masela akan mulai menghasilkan gas bumi.

Menurut informasi, terdapat tiga perusahan yang menanamkan saham mereka di ladang gas ini. Namun saham terbesar di blog masela dikuasai oleh  perusahaan asal Jepang yaitu Inpex Corporation dengan total jumlah investasi Rp 140 trilyun termasuk biaya operasi dengan jangka waktu 30 tahun kedepan.

Awalnya Inpex Corporation menjadi pemegang 90% saham, diikuti PT Energi Mega Persada dengan saham 10%. Kemudian Inpex Corporation menjual 30% saham mereka kepada Shell yang merupakan perusahaan migas asal Belanda. Setelah penjualan tersebut, Inpex memiliki saham 60% dan tetap menjadi operator utama blok tersebut.

Rencananya, pada tahap pertama  Inpex akan membangun kilang LNG terapung di tengah laut Arafuru dengan total produksi 2,5 juta ton LNG dan akan mulai beroperasi pada tahun 2017. Diprediksi blok ini akan menjadi ladang gas terbesar kedua di Indonesia setelah blok Mahakam yang didalamya juga terdapat saham Inpex dengan jumlah 50%.  Sebagian besar pasokan gas dari blok masela rencananya akan dialokasikan untuk pasar domestik. 

Pemerintah provinsi Maluku telah melalui PT Energi Mega Persada telah mengucurkan dana sebesar 14 trilyun sebagai penyertaan Daerah tersebut sebagai pengelola 10% blok Masela. Namun, ada klaim yang diutarakan oleh Pemerintah kota Maluku Tenggara Barat. Mereka menginginkan sebagian saham 10% yang dimiliki Pemprov Maluku.

“Sesuai aturan yang berlaku saat ini, ladang migas lepas pantai (offshore) yang letaknya berjarak 0-4 mil dari bibir pantai kewenangannya diberikan kepada pemerintah kabupaten. Sementara untuk ladang migas yang terletak antara 4-12 mil laut, wewenang sepenuhnya milik pemerintah provinsi. Jadi jika dilihat dari aturan tersebut maka saham 10% merupakan wewenang penuh Pemerintah Provinsi,” ungkap Nonlohy.

Pembangunan ladang gas blok masela bertujuan untuk  meminimalisir keterantungan pasokan gas dari  blok Mahakam. Pemerintah berharap hasil dari ladang gas Masela dialokasikan untuk kebutuhan di area pulau Jawa. Bahkan saat ini sedang dibangun terminal penampungan (receiving terminal) di Jawa melalui kerja sama antara Pertamina dan PGN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar