Kamis, 29 September 2016

Kepulauan di Maluku Tenggara Barat (Atubul-Da), Pulau Romang , dan Pulau Haruku

Kepulauan Di Kabupaten MTB (Atubul-da) Kepulauana MTB menyimpan banyak keindahan sumberdaya alam , terdapat sumberdaya alam hutan dan laut. Memang kepualauan ini jarang di kenal dan diketahui oleh banyak orang kecuali yang sudah pernah kesana . Apabila mau melakukan diving di pulau ini sangat baik sekali..dan juga di daerah kampung Atubul-da terdapat dua pulau besar di tenagh laut yaitu pulau New Smesh dan kore. Dimana di pulau tersebut terdapat jenis ketam kenari yang di lindungi . daerah ini memang terkesan dan masih memiliki tatanan adat yang kuat sehingga memerlukan proses - proses adat yang harus di taati bagi orang yang baru mengungjungi..bisa dilihat di bawah ini gambar pantai dan kedua pulau tersebut : Kepulauan Romang terdapat Kampung Hila kepulauan Romangterdapat di daerah kabupaten baru yaitu MBD (Maluku Tenggara barat), pulau ini biasa di sebut dengan nama lain Riomna Wiyatna..dengan luas kecamatan 1.129,6 km 2. Wilayah kampung hila ini berbukit ,dan untuk kampung yang tua adalah jerusu.. dan kampung yang baru adalah solath dan satu dusun yaitu Oirelili.. Kepulauan Haruku Maluku tengah Propinsi Maluku Di antara semua jenis dan bentuk sasi di Haruku, yang paling menarik dan paling unik atau khas desa ini adalah sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil). Jenis sasi ini dikatakan khas Haruku, karena memang tidak terdapat di tempat lain di seluruh Maluku. Lebih unik lagi karena sasi ini sekaligus merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali. Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang, mirip perangai ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kuranglebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Yang menakjubkan adalah bahwa kali Learisa Kayeli yang menjadi tempat hidup dan istirahat mereka sepanjang siang hari, menurut penelitian Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon, ternyata sangat miskin unsur-unsur plankton sebagai makanan utama ikan-ikan. Walhasil, tetap menjadi pertanyaan sampai sekarang: dimana sebenarnya ikan lompa ini bertelur untuk melahirkan generasi baru mereka?

Minggu, 18 September 2016

Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal ini adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaksanakan PRBBK dengan mengembangkan program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana). Program Destana dari tahun 2012 s/d 2015 mencapai 266 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Dalam tahun 2016, rencananya BNPB akan mengembangkan Destana ke 100 desa/kelurahan lagi.1 Sebagai rujukan dalam mengimplementasikan program Destana adalah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Perka BNPB No. 1/2012). Peraturan ini ditetapkan oleh Kepala BNPB, Syamsul Maarif pada tanggal 10 Januari 2012 di Jakarta. Tujuan Perka BNPB No. 1/2012 adalah untuk: Memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam pengembangan Destana sebagai bagian upaya PRBBK. Memberikan acuan pelaksanaan pengembangan Destana bagi aparatur pelaksana dan pemangku kepentingan pengurangan risiko bencana (PRB). Ruang lingkup pedoman ini berlaku untuk pengembangan desa/kelurahan tangguh di kabupaten/kota yang rawan bencana. Pedoman juga dapat digunakan sebagai acuan dalam memasukkan unsur-unsur PRB ke dalam program-program lain di tingkat desa/kelurahan, yang dilakukan oleh pemerintah maupun mitra-mitra non-pemerintah. Isi peraturan ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu batang tubuh Perka BNPB No. 1/2012 (3 pasal dan 3 halaman) dan lampiran pedoman (41 halaman). Substansi isi peraturan terdapat dalam lampiran pedoman tersebut. Struktur isi pedoman dalam Perka BNPB No. 1/2012 antara lain: Bab I Pendahuluan (Latar Belakang; Tujuan; Landasan Hukum; Ketentuan Umum; Ruang Lingkup dan Sistematika) Bab II Kebijakan dan Strategi (Kebijakan; Strategi). Bab III Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Prinsip-prinsip; Kriteria Umum; Peran Pemerintah di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Bab IV Kegiatan dalam Rangka Mengembangkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Pengkajian Risiko Desa/Kelurahan; Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan; Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan; Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB; Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa/Kelurahan dan Legalisasi; Pelaksanaan PRB di Desa/Kelurahan; Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Program di tingkat Desa/Kelurahan). Bab V Penutup. Lampiran. Hal-hal dasar dalam peraturan ini menyangkut pengertian masyarakat, desa/kelurahan, dan desa/kelurahan tangguh bencana. Disini masyarakat atau komunitas dimaknai sebagai kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di daerah tertentu, yang dapat memiliki ikatan hukum dan solidaritas yang kuat karena memiliki satu atau dua kesamaan tujuan, lokalitas atau kebutuhan bersama; misalnya, tinggal di lingkungan yang sama-sama terpapar pada risiko bahaya yang serupa, atau sama-sama telah terkena bencana, yang pada akhirnya mempunyai kekhawatiran dan harapan yang sama tentang risiko bencana. Sementara itu pengertian desa mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004). Pengertian desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan pengertian kelurahan adalah sebuah unit administrasi pemerintah di bawah kecamatan yang berada dalam sebuah kota. Kelurahan setara dengan desa, yang merupakan bagian dari kecamatan yang berada di kabupaten, tetapi kelurahan hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan tidak memiliki otonomi luas seperti yang dimiliki sebuah desa. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana. Dalam Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan. Tujuan khusus pengembangan Destana ini adalah: Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana. Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi PRB. Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi PRB. Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli. Komponen-komponen Destana antara lain: (1) Legislasi, (2) Perencanaan, (3) Kelembagaan, (4) Pendanaan, (5) Pengembangan kapasitas, dan (6) Penyelenggaraan PB. Strategi untuk mewujudkan Destana antara lain meliputi: Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial dan keyakinan, termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke dalam program. Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum mungkin. Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian/lembaga atau K/L, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan tinggi) untuk memberdayakan masyarakat desa/kelurahan. Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi ancaman di desa/kelurahan mereka dan akan kerentanan warga. Pengurangan kerentanan masyarakat desa/kelurahan untuk mengurangi risiko bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan beradaptasi dengan risiko bencana. Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko. Pemaduan upaya-upaya PRB ke dalam pembangunan demi keberlanjutan program. Pengarusutamaan PRB ke dalam perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial desa/kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat masyarakat. Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subyek yang berpartisipasi dan bukan obyek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Masyarakat yang sudah mencapai tingkat ketangguhan terhadap bencana akan mampu mempertahankan struktur dan fungsi mereka sampai tingkat tertentu bila terkena bencana. Program Destana dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: (1) Bencana adalah urusan bersama, (2) Berbasis PRB, (3) Pemenuhan hak masyarakat, (4) Masyarakat menjadi pelaku utama, (5) Dilakukan secara partisipatoris, (6) Mobilisasi sumber daya lokal, (7) Inklusif, (8) Berlandaskan kemanusiaan, (9) Keadilan dan kesetaraan gender, (10) Keberpihakan pada kelompok rentan, (11) Transparansi dan akuntabilitas, (12) Kemitraan, (13) Multi ancaman, (14) Otonomi dan desentralisasi pemerintahan, (15) Pemaduan ke dalam pembangunan berkelanjutan, dan (16) Diselenggarakan secara lintas sektor. Tingkat ketangguhan sebuah desa/kelurahan dalam menghadapi bencana dibagi kedalam tiga kriteria, yaitu: Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60). Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50). Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35). Ketiga kriteria Destana itu diperoleh dari pengisian kuisoner yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait aspek dan indikator Destana. Kuesioner ini terdiri dari 60 butir pertanyaan yang dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek ketangguhan dan isu-isu terkait kebencanaan lainnya. Pertanyaan disusun dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ dan setiap jawaban ‘Ya’ akan diberi skor 1, sementara jawaban ‘Tidak’ akan diberi skor 0. Indikator-indikator dalam ketiga kriteria Destana antara lain: 1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama, dengan indikator sebagai berikut: a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan. b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan dirinci ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). c. Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif. d. Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan. f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana. 2. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya, dengan indikator sebagai berikut: a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa/kelurahan. b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa. c. Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif. d. Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif. e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji. f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis. 5 3. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama, dengan indikator sebagai berikut: a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa/kelurahan. b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB. c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat. d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Tim Relawan PB Desa/Kelurahan. e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan. f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengimplementasikan Destana antara lain: 1. Pengkajian risiko desa/kelurahan (menilai ancaman, menilai kerentanan, menilai kapasitas, menganalisis risiko bencana). 2. Perencanaan PB dan perencanaan kontinjensi desa/kelurahan (RPB Desa/Kelurahan dan Renkon Desa/Kelurahan). 3. Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan. 4. Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB. 5. Pemaduan PRB ke dalam rencana pembangunan desa/kelurahan dan legalisasi. 6. Pelaksanaan PRB di desa/kelurahan 7. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan program di tingkat desa/kelurahan Pada akhir program Destana perlu dilakukan evaluasi guna menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah program telah memberikan kontribusi untuk pengurangan risiko? 2. Apakah program telah berkontribusi pada mitigasi ancaman? 3. Apakah program dapat menghilangkan atau mengurangi kerentanan dan mengembangkan kapasitas/kemampuan warga masyarakat maupun aparat pemerintah di berbagai tingkat? 4. Apakah program berhasil memobilisasikan sumber daya setempat untuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana? 5. Apakah ada komitmen dari pemerintah desa, kelurahan, kabupaten, kota dan provinsi dalam keberlanjutan program? --- dp --- ------------------------------- Djuni Pristiyanto Penulis di Bidang Kebencanaan dan Lingkungan, Fasilitator LG-SAT dan Kota Tangguh Bencana, Moderator Milis Bencana (https://groups.google.com/group/bencana) dan Milis Lingkungan (http://asia.groups.yahoo.com/group/lingkungan). Email: djunister@gmail.com.

Hasil kajian Risiko bencana dan SOP di wilayah Nabire -Papua

Hasil Kajian Risiko bencana yang di Lakukan Di Papua , hal ini harus belajar dan belajar dari dari lainnya karena berbicara bencana akan terkait dengan sumberdaya manusia yang ada , dimana sumberdaya manusia sangat di perlukan dalam tanggap darurat ketika terjadi bencana. dan ini sudah di suarakan secara naasional dan international melakukan pernjajian Kyoto di jepanag maka terbangunlah BNPB di Indoensia. dan di daerah daerah di bangunnya BPBD sesuai UU kebencanaan no .24 tahaun 2007 dan di kampung kampung atau desa juga harus berbicara kebencanaan dalam perka BNPB No 1 tahun 2012. demikian kegiatan di bawah ini : Lampiran 2 Transek kampong Waroki Lampiran 2. PETA TRANSEK Tata guna lahan Pemukiman Sungai Pantai Laut Tambak Infrastruktur Kebun Status Warga Negara Warga Negara Warga Negara Warga Potensi Sebagian warga memiliki sumur yang airnya jenih, sebagian warga berdagang mandi, cuci, kakus, sumber mata pencaharian sekunder Ikan, udang, kepiting Ikan, udang, kepiting Ikan, udang, kepiting Layanan kesehatan, jalan raya, sekolah, tempat ibadah, pasar Pohon Nira (produksi bobo) Vegetasi Air minum- air hujan Pohon rambutan, Mangga, singkong, pepaya, kelapa Pohon Nira Pohon kelapa Pohon Nira Hewan/binatang ternak Sapi, bebek, anjing, ayam Bia, ikan, Kepiting Ikan, udang Ikan, udang Ikan, udang Hama/Penyakit Malaria, Diare, ISPA, Kurang gizi, penyakit kulit, bisul, serangga tanaman,Penyakit ayam, dan anjing Ancaman Banjir Banjir Abrasi, Gelombang pasang Tsunami banjir, tsunami tsunami banjir, tsunami Lampiran 2. Hasil PRA Kampung Waroki Sejarah Kampung Thn Perubahan 1984 Terbentuknya kampung dari marga dari waropen dan raiki dan masuk dalam kalibobo (RT 07) 1992 Berubahnya nama menjadi waroki pada saat turunnya gubernur. Kampung Defenitif. 1992 terjadinya kebakaran kerugiannya beberapa rumah masyarakat terbakar. 2003 Tsunami terjadi dan rumah roboh, terendam banjir, perahu hanyut dan terjadi jam 12 malam. 2004 Gempa terjadi dan rumah roboh, kerugiannya banyak. 2005 Banjir terjadi , tidak ada kerugian. 2010 Banjir terjadi, kerugian rumah terendam, kolam terendam air , ternak hanyut, dan anak-anak sakit diare. Hubungan Kelembagaan : Identifikasi kelembagaan ; Hubungan Kelembagaan Distrik Aparat kampung : Sangat membantu msy jika mendapatkan masalah. Pemerintah kampung PW : Posisi membantu msy dalam kesusahan , sakit. Pustu (kader kampung) PKB : membantu msy dalam kesusahan, sakit. Tagana (Dinsos) Kelompok Tani binaan dinas pertanian, dinas perkebunan. PKB PKK : lembaga perempuan di kampung PW Kader kampung : terdiri dari kesehatan, PCI. Posyandu Tagana : Tim bencana dari Dinsos. Dukun kampung PPL : pendamping masyarakat dari dinas pertanian dan perkebunan dinas perikanan Karang taruna : lembaga pemuda Dinas Perkebunan Dinas perikanan Dinas Pertanian PCI : NGO kesehatan Karang Taruna Peta Kebun Peta kampong waroki Lampiran 5 . Diskusi Kelompok mengenai Peta Ancaman Kelompok 1: Ancaman Kerentanan/Kelemahan Kapasitas/Kemampuan Gempa - Lokasi di tektonik aktif - Struktur bangunan tidak tahan gempa - Kurangnya pengetahuan masyarakat ttg gempa - Bangunan rumah tahan gempa - Kemampuan masyarakat pada pengurangan risiko Banjir - Masyarakat bermukim/berada di daerah aliran sungai - Adanya pembalakan hutan - Mobilisasi ke tempat lebih aman - Penghijauan kembali - Peningkatan pemahaman masy ttg banjir Abrasi - Kurangnya kesadaran masyarakat ttg fungsi hutan bakau - Bakau dimanfaatkan sebagai kayu bakar - Alih fungsi pantai sebagai pemukiman dan industri - Budidaya bakau - Membentuk kelompok peduli bencana Kelompok 2: Ancaman Kerentanan/Kelemahan Kapasitas/Kemampuan Konflik Keragama suku Budaya berbeda Isu-isu Aturan/tradisi Ada polisi Ada kepala suku Ada bupati Ada tokoh masyarakat di setiap suku Kebakaran Ceroboh Buang puntung rokok sembarangan Pembukaan lahan Ada pemadam kebakaran Ada PPL Pertanian Longsor Penebangan liar Pendulangan liar Pembalakan hutan Reboisasi Aturan pelarangan pembalakan liar Kelompok 3: Ancaman Kerentanan/Kelemahan Kapasitas/Kemampuan Wabah Kurangnya informasi masy ttg kesehatan Layanan kesehatan tidak mudah diakses Ada layanan kesehatan di tiap kampung Kekeringan Kelaparan Adanya persediaan bahan pangan Pembangunan saluran irigasi Tsunami Permukiman di dataran rendah Mobilisasi pindah ke tempat lebih aman Hasil Diskusi Kelompok Asset Penghidupan dan Bencana Nabire Kelompok 1 Ancaman Gempa Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Meninggal Luka-luka Mengungsi Keluarga Terputusnya Komunikasi Tetangga Konflik bantuan Bukit Longsor Air Sumur Keruh Kebun Rusak/gagal panen Pasar Mekanisme pasar tidak berjalan normal Ternak (…ekor) Mati, hilang Tabungan Tidak dapat akses Jalan (…km) Rusak Jembatan (….unit) Putus Rumah (….unit) Rusak Kelompok 2 Ancaman Banjir Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Meninggal Luka-luka Mengungsi Keluarga/kerabat Terputusnya Komunikasi Air Sumur Keruh Bukit Longsor Ternak Mati/Hilang Jembatan Rumah Jalan Gangguan Keamanan Pencurian, penjarahan, perdagangan manusia. Kelompok 3 Ancaman Tsunami Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Meninggal Luka-luka Mengungsi Rumah Hancur/hilang Rusak Jalan Rusak Jembatan Rusak Harta benda Rusak/hilang Kebijakan Perubahan Kebijakan Garis Pantai Berubahnya garis pantai Sungai Terjadinya pelebaran Kebun (…Ha) Rusak/gagal panen Tidak bias di Tanami Keluarga Hilang/meninggal dunia Sakit Sumur Tertimbun/kotor/tercemar Kelompok 4 Ancaman Konflik Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Sakit/berpindah Nyawa Meninggal Kesehatan Gangguan Kesehatan fisik/psikologis Keuangan Tidak ada penghasilan Harta benda Rusak/Hilang Rumah Hancur Kendaraan Rusak Kebun Rusak Ternak Mati/hilang Buku Tabungan Hilang / di curi Jembatan Putus Jalan Diblokir/Palang Pasar/Toko Libur Kantor Pemerintah Tutup Rusak Keamanan Gangguan Keamanan Lampiran 4. SOP Kampung Ancaman: Banjir No Siapa/Kapan Apa SEBELUM 1 Kepala kampung Melakukan sosialisasi 2 TBK: Koordinator umum Menjalin kerjasama yang baik dengan anggota tim dan pihak luar (pemerintah) Disetiap tahap penanggulangan bencana bertanggung jawab atas seluruh kegiatan tim siaga bencana Seksi P3K dan Evakuasi Melatih diri dalam pertolongan pertama Menjalain hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga kesehatan Seksi perlengkapan dapur umum Menyiapakan dan memelihara peralatan dapur umum Peringatan dini Mengenali tanda awal ancaman Membangun jaringan komunikasi yang baik Mencatat dan menyimpan semua no-no penting Mis: No kantor BPBD, Seksi Transportasi Menyiapkan spit untuk evakuasi korban dengan luka yang berat Ex: patah tulang Seksi Logistik Mentukan tempat penyimpanan barang Mencari tahu sumber bantuan yang bisa diperoleh 3 Mantri Menyiapakan obat-obatan yang dibutuhkan pada saat terjadi bencana 4 Masyarakat Mengetahui tempat Evakuasi 5 Tagana Mengidentifikasi ancaman yang ada di setiap desa SAAT 1 Kepala kampung Mengkordinir semua data-data korban meninggal..orang, ternak mati…ekor, luka-luka….orang, Sebagai juru bicara pada saat badan pemerintahan turun ke kampung 2 TBK: Koordinator umum Penampung masalah dengan anggota tim dan pihak lainnya berupa mencarikan solusi yang tepat Seksi P3K dan Evakuasi P3K: Menilai kondisi korban dan melakukan P3K Membuat laporan Evakuasi: Mengawasi proses pengungsian Seksi perlengkapan dapur umum Menyediakan bahan makanan Peringatan dini Memantau perkembangan bencana Seksi transportasi Mengevakuasi warga ke tempat yang aman Seksi logistik Membagikan bama kepada masyarakat 3 Mantri/ bidan Memberikan obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat Merawat korban 4 Masyarakat Mengungsi di tempat evakuasi yang sudah ditentukan 5 Tagana DistribUsi logistik SESUDAH 1 Kepala kampung Melaporkan kepada pemerintah (BPBD) meninggal…orang, rumah rusak….unit, ternak mati…ekor 2 TBK: Koordinator umum Mendata kerugian akibat bencana dan melaporkan kepada kepala kampung Seksi P3K dan evakuasi P3K: Memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat Evakuasi: Memelihara sarana evakuasi (kebersihan, sampah) Seksi perlengkapan dapur umum Menyediakan makanan dan minuman bagi orang yang membutuhkan Peringatan dini Menentukan pemulihan Menganalisa kerusakan akibat bencana Seksi transportasi Mengembalikan korban ke kampung Seksi logistik Menyalurkan bantuan 3 Mantri/bidan Merawat korban dan memberikan obat 4 Masyarakat Mengikuti petunjuk tim Siaga Bencana ataukah mereka masih tinggal di tempat tersebut 5 Tagana Mendata korban yang sudah mendapatkan bantuan dan melaporkan kepada kepala kampung Prinsip dari SOP: Harus mudah dipahami dan masuk akal untuk dijalankan Lampiran 4. RANCANGAN SOP UNTUK ANCAMAN BANJIR KAPAN SEBELUM SAAT SESUDAH SIAPA BPBD • Membuat peta ancaman dan risiko • Merumuskan rencana aksi daerah berkenaan dgn ancaman banjir • Membentuk tim reaksi cepat untuk menanggulangi bencana dari semua intansi dan ormas yang ada di kab. Nabire • Mengkaji kerugian, kerusakan, sumber daya dan lokasi terjadinya ancaman • Menentukan status keadaan darurat (bencana) berdasarkan dampak ancaman • Mengakomodir semua instansi dalam pemberian bantuan dan evakuasi korban • Mengkoordinasikan semua data korban dan kerugian akibat bencana dari tiap instansi dan melaporkannya kpd BNPB Dinas Kesejahteraan Sosial • Memastikan persediaan bantuan bencana cukup untuk satu periode (3 bln) • Menyelenggarakan pelatihan tanggap banjir bagi Tagana dan sistim peringatan diri utk ancaman banjir • Menyalurkan bantuan bahan makanan pokok kepada BPBD dan pendistribusian kepada korban banjir • Mengkaji kerusakan, kerugian dan dampak sosial yg ditimbulkan oleh bencana • Memberikan perhatian dan perlindungan yang lebih thd kelompok rentan (balita, anak2, bumil, lansia, perempuan) Dinas Kesehatan • Menyediakan stok obat-obatan yg cukup untuk bencana • Mengadakan mobile clinic untuk korban bencana • Pendistribusian obat-obatan yang diperlukan kepada korban • Merawat korban bencana yang sakit Dinas Kehutanan • Sosialisasi dampak pembalakan hutan atau penebangan liar • Sosialisasi aksi penanaman pohon kembali (reboisasi) • Dinas PU • Normalisasi Kali dan Sungai Memulihkan sarana transportasi darat yang rusak akibat bencana LANGKAH-LANGKAH FASILITASI MANAJEMEN KEDARURATAN • Introduction : KOMPAK, tiap SKPD • Identifikasi masalah yang dihadapi tiap SKPD berkenaan dgn bencana banjir • Tanya jawab • Curah pendapat • Diskusi • Opini-opini • Pemaparan tupoksi dari tiap SKPD berkenaan dgn bencana banjir • Pemetaan aktor dan peran • Komitmen dan tanggung jawab tiap SKPD

Latihan Sumberdaya Manusia Ibu-Ibu Di Papua-Biak

Pelatihan sumberdaya ibu -ibu di Papua merupakan program untuk meningkatkan kemandirian ekonomi rumah tangga ..dan pelatihan ini merupakan dasar untuk meningkatkan ekonomi mikro . dimana setelah pelatihan ini akan bekerjasama dengan perbankan dan pemerinatah provinsi Papua. bisa di simak bagaimana proses pelatihan di bawah ini :
Partisipasi peserta dalam belajar usaha ekonomi

MEMBANGUN JEJARING USAHA

MEMBANGUN JEJARING USAHA Oleh Blasius Jabarmase Pelatihan untuk kewirausahaan Ibu-Ibu yang memiliki potensi ekonomi, sbb : KONSEP DASAR MEMILIKI KELOMPOK DALAM USAHA SALING MENGUNTUNGKAN. MEMILIKI RENCANA USAHA YANG BENAR DAN KONSISTEN BERPIKIRAN MAJU DALAM BERUSAHA. BAGAIMANA KALAU TIDAK PUNYA KELOMPOK ? HARUS MENCARI MITRA KERJA USAHA YANG SEHAT. Contoh : KALAU BANGUN KIOSK UNTUK USAHA PASTI KITA BUTUH SAUDARA KITA UNTUK MEMBANTU CARI BATU TELA, KAYU, DAN PASIR ? SETELAH ITU KITA AKAN CARI GROSIR SEBGAI MITRA KITA UNTUK MENGISI BARANG KIOSK ? PASTI KITA JUGA BUTUH TEMAN UNTUK MENGHITUNG HARGA BARANG ? SEANDAINYA TIDAK ADA GROSIR YANG MENYEDIAKAN HARGA BRG MURAH ? APA YG TERJADI ? DAN JUGA KALAU TARA ADA PASIR, BATU TELA, DAN KAYU APAKAH KIOSK BERDIRI ? ILMU JARING PAKAI ILMU JARING : KALAU IKATAN KUAT PASTI IKAN YANG DI TANGKAP TIDAK AKAN LEPAS. DAN SEMAKIN LUAS JARING PASTI YANG DI DAPAT JUGA BANYAK . DAN KALAU USAHA MAU BERKEMBANG DAN MAJU DAN KUAT HARUS MEMBANGUN MITRA KERJA SELUAS MUNGKIN. LATIHAN: MINTA PESERTA MENCERITAKAN MEMBANGUN MITRA USAHA DENGAN KELOMPOK ATAU PEMERINTAH ATAU NGO ? DISKUSI KELOMPOK BENTUK SUATU USAHA /KELOMPOK? TULIS NAMA USAHA ? TULIS ORGANISASI USAHA ? MODALNYA BERAPA ? DEFENISI : MITRA USAHA YAITU MITRA SEJAJAR, TIDAK ADA YANG LEBIH DALAM BERUSAHA, MELAINKAN SALING MENUNJANG. KENAPA PENTING ? DAN SIAPA MITRA KITA ? PENTING KRN : BISA MEMBANTU PADA SAAT TIDAK ADA MODAL ? MEMPERMUDAH BISNIS ATAU USAHA ? PENINGKATAN KAPASITAS USAHA ? PERUBAHAN POLA PIKIR USAHA ? MEMAJUKAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DI TEMPAT LAIN. SATU TUJUAN. MITRA KITA ADALAH : PEMERINTAH KAMPUNG, DISTRIK , KABUPATEN, DAN PROVINSI. LKMK, LKMD. NGO Lokal dan International. Universitas PERBANKAN DUNIA USAHA LAINNYA. Apabila ada pertanyaan bisa tulis di blog ini > Terimakasih.

Rabu, 14 September 2016

AMBON DISASTER RESPONSE EXERCISE (DiREX) 2016

Provinsi Maluku merupakan rawan bencana gempa bumi , banjir , dan juga Tsunami. Melalui Joint Paper “ASEAN Community in a Global Community of Nations” Indonesian-Australian Paper: A Practical Approach to Enhance Regional Cooperation on Disaster Rapid Response Introduction: Natural Disasters a Constant Threat 1. Natural disasters continue to cause loss of life, properties and livelihoods in the region and impede sustainable development. Recent disasters such as earthquakes and tsunami, floods and volcanic eruptions, are a reminder that the region remains prone to disasters that have long-term negative social, economic and environmental consequences. 2.Disaster management and response is a key priority for the East Asia Summit (EAS). This is clearly articulated in the 2009 Cha-am Hua Hin Statement on Disaster Management. Natural disasters have a profound human and economic cost for the countries in our region. Large populations are vulnerable to flooding, earthquakes or volcanic activity. Much of the region is prone to extreme weather events, including tropical cyclones, storm surges and forest fires. 3. E AS participating countries accounted for eight of the world’s ten deadliest disasters in 2009 and five of the ten in 2010. Smaller scale natural disasters resulted in scores of deaths and extensive damage to infrastructure, property and livelihoods, with developing countries bearing the bulk of the burden. 4. According to the UN’s Asia - Pacific Disaster Report 2010, the number of disaster events reported globally increased from 1,690 to 3,886 between 1980 - 1989 and 1999 - 2009. Over the whole period 1980 - 2009, 4 5 per cent of these were in Asia and the Pacific. a.The 2004 Indian Ocean tsunami cost the lives of over 250,000 people in the region, with 45.6 million people affected by the disaster. 2 b. The 2008 earthquake in Sichuan, China, cost the lives of more than 69,000 people and caused US$85 billion damage. c. The 2009 earthquake in Padang, West Sumatra, cost the lives of 1,100 people and caused the destruction of more than 300,000 buildings. d. The estimated cost of reconstruction after the recent earthquakes in New Zealand’s Canterbury region is around US$12 billion, 7.5 per cent of national GDP. e. In Japan, in addition to the tragic deaths of more than 15,000 people, estimates put direct losses from damage to housing, infrastructure and business caused by t he 2011 earthquake and tsunami at up to US$300 billion, making it the costliest disaster on record. The increase in reported incidents could be related to many factors including increasing population exposed to hazards and improvements in reporting and collection of disaster data ( http://www.unescap.org/idd/pubs/Asia - Pacific - Disaster - Report - 2010.pdf ). Responding to disasters on this scale and frequency stretches the res ources of even the best - prepared countries. Recent experiences have shown that the 3 region could do more to build a substantive capacity for preparing for and managing disasters, including facilitating a rapid multilateral and cross - agency response capacit y. The bulk of government - led international assistance in a given disaster situation is generally provided on a bilateral basis and in response to a specific request by the government of the affected country. The right to offer, invite, accept or refuse assistance in a disaster situation resides with national governments. But the EAS can provide direction, impetus and institutional support to a more cohesive, coordinated and effective regional disaster management and response effort. Current Policy Res ponses 5. In response to such natural disasters, the Association of South East Asian Nations (ASEAN), the East Asia Summit (EAS), the ASEAN Regional Forum (ARF), and many other groupings and mechanisms have made arrangements on disaster mitigation and managem ent a priority. 6. Complex and overlapping sub - national, national, regional and global arrangements for disaster preparedness, response and relief risk confounding efforts to build the region’s disaster management and response capacity rather than assisting t hem. 7. The EAS itself has expressed its firm resolve to cooperate on reduction and management by adopting the 2009 Cha - am Hua Hin Statement on EAS Disaster Management. In addition, there is a range of agreements and arrangements under ASEAN, the ASEAN Region al Forum and between ASEAN and various Dialogue Partners, namely the: a. ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER), which seeks to reduce disaster losses and jointly respond to disaster emergencies through regional and internation al cooperation; b. ASEAN Standard Operating Procedure for Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations; c. ASEAN Declaration on Cooperation in Search and Rescue of Persons and Vessels in Distress at Sea; d. Agreement on the Establishment of the ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance; e. ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM), which meets twice a year and ACDM+3 which meets once a year; f. ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus (ADMM - Plu s), which has established an Experts’ Working Group on humanitarian assistance and 4 disaster relief; g. ASEAN Regional Forum (ARF), which has a long - standing inter - sessional meeting process on disaster relief and has held desk - top and field exercises; h. Asian D evelopment Bank, which assists countries in reducing vulnerabilities to risk and responding faster to disaster impacts, including through grants to developing member countries affected by natural disasters; and i. APEC’s Emergency Preparedness Working Group, which seeks to improve the region’s preparation for and response to emergencies and disasters by helping to reduce risk and building business and community resilience. 8. Despite the proliferation of such arrangements and agreements, a basic challenge remains : is the region now actually better prepared to respond to natural disasters in a rapid, timely and effective manner, especially in the immediate life - saving moments? A Strengthened Role for the EAS 9. In recognition of the existing efforts, the objective in the context of the EAS is to simplify and improve existing arrangements to better prepare for and manage natural disasters and to rapidly and effectively respond in the immediate aftermath of a natural disaster to maximize life saving efforts. 10. The aim i s not to create another institution but to make existing institutional arrangements work effectively. 11. While significant progress has already been made, further work needs to be done by EAS participating countries , particularly through ASEAN mechanisms, to continue to enhance national preparedness, reduce risk, and build capacity for countries in the region to be able to: better self - manage disasters in their own territory; assist with responding to disasters elsewhere in the region; and better receive, coor dinate and integrate international assistance when national capabilities are overwhelmed in a disaster situation. 12. Recent experience has highlighted three clusters of issues where gaps in regional readiness and response exist and in relation to which greate r effort by EAS participating countries would have a positive effect, namely: a. Cluster I – information - sharing; b. Cluster II – overcoming bottlenecks; and c. Cluster III – capacity building and promoting collaboration and 5 partnership in disaster response (inte roperability). 13. It is proposed that the EAS consider focusing its disaster preparedness and response efforts around these three clusters. Cluster I – Information - sharing 14. The Cha - am Hua Hin Statement highlighted the importance of establishing a network to provide timely and reliable information as well as rapid disaster response. Recent experience has served as a reminder that real - time information exchange in the immediate aftermath of disasters remains a particular challenge. For this reason, considerati on should be given to developing and strengthening online AHA Centre information - sharing portal to disseminate information to EAS participating countries . The information - sharing portal would, among others, have three main functions: a. Real - time information The portal would allow countries to share information on disasters in real - time. This information could include casualty and damage assessments, as well as initial response measures by the disaster - affected country. In addition, disaster impact informati on could also be provided by third countries, for example, through satellite images, with the consent of the affected country. This would inform the response planning of donors and allow faster communication than is possible through diplomatic channels. b. Resource matching The portal would allow disaster - affected countries to list what resources, supplies and equipment they needed. If a donor supplied the requested resource, this would be recorded on the portal. This would avoid duplication of effort by don ors. c. Other policy and operational gaps Other issues that the portal could help address, but which would also need to be addressed collectively by EAS participating countries through other means, include: lack of comprehensive regional vulnerability and h azard mapping, coupled with inaccurate or insufficient resource gap analysis which can lead to inappropriate assistance being requested and/or offered; limited sharing of information or information - gathering and analysis capability and lack of a cohesive or agreed system to 6 ensure quick collection and exchange of data when a disaster occurs; limited on - the - ground coordination of international responses, including matching offers of assistance to requests and needs; international assistance that does not a lways support national disaster response priorities; specific capacity or capability gaps that vary by country and requirement, for example, in strategic airlift, urban search and rescue, advanced data collection and mapping; and the lack of a comprehensiv e understanding of what resources, assets and capabilities are available in the region to assist when required and what the key capability gaps are in a given country or region. d. Outreach With the consent of EAS participating countries, the portal could al so serve as a source of information to various non - EAS entities including relevant international organizations and other non - governmental humanitarian disaster - relief agencies. The portal could enhance these relevant entities’ rapid and effective involvem ent and participation in disaster relief efforts. Cluster II – Overcoming bottlenecks 15. EAS participating countries have shown willingness to mobilise assets and capacities as appropriate in an effective and timely manner in response to disasters. There nev ertheless remain a number of bottlenecks that impede the timely delivery of support. These include requirements related, but not limited to, licensing, visas, customs barriers, quarantine, taxation and privileges and immunities. 16. Consideration should be giv en to ways in which EAS participating countries could remove or minimise such bottlenecks. 17. EAS participating countries should consider mechanisms to allow rapid deployment and acceptance of assistance personnel and supplies, including through the developme nt and use of voluntary model arrangements and/or binding bilateral agreements, taking into account the existing mechanisms in the region. 7 Cluster III – Capacity building and promoting collaboration and partnership in disaster response (interoperability) 18. Better management of and responses to regional disasters are impeded in part by: a. varying institutional capacity to receive appropriate international assistance quickly when this is offered; and b. varying capacity for international responders (government and non - government) to be trained and accredited to a certain standard and to be self - sufficient and self - contained once deployed to a disaster. 19. EAS participating countries should promote capacity building, including through disaster relief exercises, trainin g, workshops and exchanges of staff and/or secondments, including in the cluster I and II areas as identified above. 20. Capacity building activities in the form of exercises can also be undertaken through existing mechanisms, including the ASEAN Regional Disa ster Emergency Response Simulation Exercise (ARDEX) and ARF Disaster Relief Exercise (DiREx). Way forward 21. Each EAS participating country shall designate a national focal point, or sherpa, in disaster rapid response preparedness, preferably the head of i ts disaster management agency. 22. The nat ional focal po int will take the lead for EAS country delegations which would meet twice a year or when it deems necessary in the form of an expanded ASEAN Committee for Disaster Management (the expanded ACDM) . 23. The exp anded ACDM would meet back - to - back with the ACDM and would report to East Asia Summit (EAS) leaders through the EAS SOM and EAS Foreign M i nisters’ C onsult ations. a. In rec ognition of the new work to be undertaken and the importance of implementing leaders’ de cisions, the expanded ACDM would be supported by a secreta rial unit attached to AHA Centre , to be funded by Australia, with contributions from other EAS part i cipating countries on a voluntary basis. b. The expanded ACDM would consult closely with the ADMM - Plu s Experts’ Working Group on Humanitarian and Disaster relief and the ARF ISM on Disaster Relief. 8 24. In its first three years, the expanded ACDM would be guided by a work program based on the schema set out below. Year 1 (2012) 25. Year one would focus on develop ing a work program and identifying necessary institutional reform options that would maximise coordination of existing regional disaster response mechanisms. a. The expanded ACDM would be established with responsibility for providing to leaders options for th e best possible coordination of existing institutional arrangements. b. Developing and strengthening online AHA Centre information - sharing portal to provide timely and reliable information as well as rapid disaster response c. In developing options for leaders, the expanded ACDM would consider appropriate arrangements to allow rapid deployment and acceptance of personnel and supplies, including the development and use of voluntary model arrangements, binding bilateral agreements and/or the development of a region al arrangement to remove or minimise bottlenecks. d. Based on input from the heads of EAS countries’ disaster management agencies (HDMAs), the expanded ACDM would identify licensing, quarantine, customs, taxation and legal barriers which can prevent, impede o r delay the implementation and repatriation of specialised equipment and capabilities (such as tents, specialised tools and sniffer dogs) and propose solutions. e. HDMAs would establish and make available through the expanded ACDM /information portal a registr y of national official requirements for rapid admission and accreditation of skilled professionals (law enforcement, medical) in a disaster situation. f. HDMAs would also disseminate world’s best practice systems and share lessons learned from recent disaster s. Year 2 (2013) 26. Activities in year two should focus on desk - top exercises covering a range of scenarios, including: a. flooding, seismic events or fire management or areas of sectoral expertise such as deceased victim identification, urban search and rescue , 9 medical, engineering, law enforcement i. identifying the full range of strengths and weaknesses of existing systems and capabilities; and ii. linking with ARF and ADMM - Plus exercises when they are held to help ensure these are effective and useful for strengthe ning regional response capacities. 27. Other year - two activities should include: a. Developing a register of disaster - relief assets, emergency stores and resources (including human resources) and niche capabilities that countries in the region are able to make available at short notice for disaster response; b. Identifying gaps in regional disaster response capacity; and c. Exploring or facilitating temporary exchanges of staff or secondments of staff between national disaster management organisations and/or emergenc y services. Year 3 (2014) 28. EAS participating countries would look to full operational exercising of the new institutional arrangements and desk - top planning exercises put into place in years one and two in order to: a. strengthen regional rapid response capac ity through increased operability of EAS disaster management capabilities; and b. simulate large - scale relief operations at (an) agreed venue(s) within the region. 29. Following large - scale field exercises, EAS participating countries would look to finalise new p olicy, institutional and operational arrangements. a. T o enhance existing arrangements, including the ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM), to a more cohesive, coordinated and effective regional disaster management and response effort/preparedness. b. A gree to a schedule of desk - top and field - operational exercising into the future.

Selasa, 13 September 2016

KPK Akan Terjun ke Daerah Maluku... Cek Izin Usaha Tambang yang Bermasalah

KPK Akan Terjun ke Daerah Cek Ribuan Izin Usaha Tambang yang Bermasalah
Melihat informasi berita hari ini mengenai Evaluasi Izin Tambang PT.GBU.oleh Ketua DPRD Provinsi Ambon melalui media koran di ambon ...yang menyatakan bahwa ijin tersebut akan di selidiki oleh KPK..apakah pemerintah dan DPRD mampu melakukan hal ini..karena informasi yang berasal dari masyarakat..dan sesuai pernyataan ketua KPK...dan apakah Pihak DPRD provinsi Maluku dapat melaporkan hal ini atau hanya hanya gertakan sambal belaka....dari ketua DPRD Provinsi Maluku..????? karena sudah ada pernyataan seperti di bawah ini dari Ketua KPK... Jakarta - Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan akan menerjukan timnya melakukan pengecekan ribuan izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah di sejumlah daerah di Indonesia. Tim KPK akan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dan Menteri ESDM Sudirman Said. "Ada lebih dari 5000 izin usaha pertambangan diidentifikasi, 3.900-an masih bermasalah. Kita akan ambil langkah-langkah terkoordinasi dan cepat. KPK akan turunkan tim bersama Kementerian ESDM dan Kemendagri agar 3.900-an itu bisa diselesaikan dalam waktu tidak lama," kata Agus saat jumpa pers di kantornya bersama Tjahjo dan Sudirman, Senin (15/2/2016). Di tempat yang sama, Sudirman menyebut sejak 2011 pemasukan keuangan negara sampai Rp 10 triliun di bidang mineral dan batu bara serta kewajiban pengusaha tambang terindikasi senilai Rp 23 triliun. Sudirman menyebut IUP dengan kategori non clear and clean berjumlah 3.966. "Kita dukung lagi struktur industri lebih sehat dengan cara meyakinkan pelaku bisnis agar benar-benar memiliki persyaratan legal, menjaga lingkungan, menjaga keselamatan kerja dan secara finansial sehat," kata Sudirman. Sementara itu, Tjahjo menyebut dalam pertemuan dengan KPK ada 21 gubernur yang hadir dari 32 gubernur yang diundang. Tjahjo pun mendorong agar koordinasi dan supervisi yang dilakukan KPK berjalan dengan baik. "Pada prinsipnya kerja sama ini ingin dipercepat penjabaran UU 23 dan UU Minerba yang ada, ingin tertata izin usaha pertambangan dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kewajiban keuangan pelaku usaha minerba, pelaku industri, pengolahan hasil tambang termasuk penjualan dan pengangkutan," kata Tjahjo. Menurut Sudirman ada momentum gubernur baru agar menata daerahnya tentang izin usaha pertambangan. Apabila nantinya ada yang tidak memenuhi syarat tentu akan dicabut izinya. "Kalau sama sekali tidak memenuhi syarat ya dicabut. Motifnya jelas, ada sanksinya mulai teguran tertulis, pembekuan sementara dan sampai pencabutan IUP," kata Sudirman. Sementara itu Tjahjo menambahkan, Presiden Jokowi pernah mengungkap tumpang tindih perizinan di sejumlah provinsi di luar Jawa. Dari permasalahan tersebut diharapkan KPK dapat menindaklanjutinya. "Presiden Jokowi pernah mengungkapkan rata-rata per provinsi di luar Jawa 3000-an tumpang tindih perizinan kehutanan, perkebunan, pertambangan. Ini minta dipercepat. KPK dapat mempercepat agar yang salah ya salah harus segera diproses," sebut Tjahjo. Dalam pertemuan tertutup tersebut hadir 21 dari 32 gubernur yang diundang, khusus untuk Bali dan DKI Jakarta tidak diundang lantaran tidak ada izin tambang. Beberapa gubernur yang tampak hadir yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Plt Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry dan lainnya. (dhn/fdn)

KPK Bersiap Ciduk Pemda Penerbit Izin Tambang Bermasalah

Diemas Kresna Duta, CNN Indonesia Rabu, 04/02/2015 16:42 WIB Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal meningkatkan kegiatan koordinasi dan supervisi (korsup) di sektor pertambangan dari upaya pencegahan ke penindakan. Hal ini dilakukan lantaran lembaga antirasuah tersebut mendapati banyaknya praktik penyimpangan dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) oleh Pemerintah Daerah. "Melihat yang sudah-sudah seperti apa? Pasti akan kami tindaklanjuti mulai dari pengusaha, bupati, gubernur sampai bea cukai dan pajak jika perlu," ungkap Koordinator Tim Sumber Daya Alam Ditektorat Litbang KPK Dian Patria di Jakarta, Rabu (4/2). Tahun lalu, KPK bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diketahui telah melakukan korsup di 31 provinsi yang dibagi menjadi dua tahap. Pada tahap pertama, KPK mencatat terdapat 810 IUP yang tak memenuhi prasyarat Clear and Clean (CnC) di 12 provinsi dan seluruhnya telah dicabut. Dian pun memprediksi jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan mendekatinya batas waktu perpanjangan untuk korsup tahap I dari Januari 2015 menjadi Juni 2015. "Jangan aneh kalau data IUP yang sudah kami cabut lebih banyak dibanding ESDM. Angka 810 IUP itu kami catat dari perusahaan yang terdaftar dan memiliki sertifikat, sementara ESDM mendasarinya dari MOMI (Minerba One Map Indonesia)," tutur Dian. Direktur Program Pengusahaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko menambahkan hingga 14 Januari lalu pihaknya mendapat laporan bahwa sebanyak 296 IUP telah dicabut dari kegiatan korsup tahap I. Dimana pencabutan IUP tersebut dilakukan oleh Pemerintah Daerah selaku regulator penerbit, sebelum kewenangannya dialihkan ke Gubernur sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota. Pilihan Redaksi KPK Ingatkan Gubernur Teliti Terbitkan Izin Pertambangan Abraham Samad: Tak Lunasi Royalti, Izin Tambang Pasti Dicabut Pemerintah Siap Cabut 258 Izin Usaha Tambang di Kalimantan Saat ini, lanjut Sujatmiko terdapat 258 IUP yang rencananya bakal dicabut oleh Pemda. "258 IUP tadi ada di Kalimantan Tengah. IUP ini akan dicabut karena pengusaha tidak memenuhi syarat CnC," katanya. Hingga akhir 2014 kemarin, Ditjen Minerba mencatat terdapat 10.543 IUP yang telah diterbitkan oleh Pemda. Dari jumlah tersebut, 5.995 IUP diketahui memiliki status CnC sedangkan 4.554 IUP lainya tidak mengantongi CnC. (gen)

KPK Ultimatum Perusahaan Tambang Bermasalah Bagaimana dengan Di Maluku Barat Daya

Melihat yang terjadi ijin tambang di MBD oleh Perusahaan tambang tertentu karena ijin di berikan oleh gubernur ....maka coba kita simak dengan pernyataan ketua KPK di media tempa sebagai berikut : TEMPO.CO, Balikpapan - Komisi Pemberantasan Korupsi mengultimatum perusahaan tambang bermasalah di seluruh Indonesia hingga batas waktu 15 Mei 2016. Selanjutnya, komisi antirasuah itu akan membawa proses perizinan yang dianggap belum mengantongi sertifikasi clean and clear (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ke ranah hukum. “Bulan Mei nanti semua harus diselesaikan. Selanjutnya, proses hukum yang akan masuk,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Balikpapan, Kamis, 7 April 2016. Agus mengatakan pihaknya sudah menyelidiki 5.200 izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan daerah. Sebanyak 3.900 perizinan pertambangan sudah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan Kementerian ESDM agar mengantongi sertifikasi CNC. “Sebagian sudah melakukan ketentuan CNC sehingga tinggal sisanya yang belum melaporkan ke ESDM,” ujarnya.   Lewat batas waktu yang sudah ditentukan, KPK akan memilah izin bermasalah yang melakukan pelanggaran administrasi hingga pidana. KPK selanjutnya akan membawa perusahaan pertambangan yang belum mengantongi sertifikasi CNC ke ranah hukum. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan banyak permasalahan terjadi dalam penerbitan pertambangan, dari pelanggaran area konservasi, kawasan lindung, tak mengantongi NPWP, hingga kewajiban pembayaran jaminan reklamasi dan pasca-tambang. Menurut Kementerian ESDM, utang pelaku usaha terhadap negara atas pelanggaran pajak, jaminan reklamasi, dan pasca-tambang mencapai Rp 23 triliun. Kementerian ESDM memastikan terdapat 3.701 IUP di Kalimantan atau 36 persen izin pertambangan nasional, yang jumlahnya mencapai 10.348 izin. Sebanyak 1.320 IUP di Kalimantan dianggap bermasalah dalam pelunasan jaminan reklamasi, pasca-tambang, dan pajaknya. Perusahaan tambang di Provinsi Kalimantan Timur menduduki peringkat pertama utang ke negara sebesar Rp 288 miliar, Kalimantan Tengah Rp 274 miliar, Kalimantan Barat Rp 119 miliar, Kalimantan Utara Rp 92 miliar, dan Kalimantan Selatan Rp 56 miliar. Kementerian ESDM sedang merumuskan sistem pengangsuran piutang yang wajib dibebankan kepada pelaku usaha non-CNC. “Kami sedang merumuskan mekanisme penagihan piutang negara ini kepada pelaku usaha,” tutur Gatot. Bagi pelaku usaha non-CNC akan dikenakan larangan ekspor produk pertambangan. Kementerian ESDM akan memantau kepatuhan pelaku usaha ini dengan koordinasi dari KPK. S.G. WIBISONO

Jemaat Efrata Tantui Lakukan Ibadah Nuansa Etnik “TANIMBAR”

Kota Ambon, Maluku telah dikenal dengan keragaman budaya. Masyarakat Ambon adalah salah satu masyarakat Indonesia yang berada di kawasan Maluku. Setiap masyarakat pastilah memiliki kebudayaan yang berbeda sebagai penanda keberadaan suatu masyarakat atau suku. Memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda, membuat gereja-gereja protestan di daerah ini kian mengembangkan nilai budaya dalam peribadatan. Misalnya, kegiatan ibadah minggu di Gereja Protestan Maluku (GPM) Jemaat Efrata Tantui, Kota Ambon. Ibadah ini berlangsung pukul 09.00-11.00 WIT. Menariknya, pada beberapa sesi ibadah yang mengunakan nuansa etnik “TANIMBAR” ini, dirangkai dengan tarian daerah, seperti Tari Tifa. Beberapa lagu yang dinyanyikan pun menggunakan ragam lagu daerah. Saat ini, dunia saat ini menawarkan berbagai macam perkembangan dalam hidup. Ada yang bisa mendatangkan kebaikan atau juga keburukan. Kemajuan teknologi menuntut gereja untuk membuka diri, karena perubahan berjalan begitu cepat. Namun, jangan sampai perubahan yang begitu cepat saat ini, membuat kita terlena dan tidak lagi mengandalkan Tuhan melainkan mengandalkan kekuatan kita. “Tapi bagaimana kita terus mengandalkan Tuhan untuk bisa menjadi pribadi yang kuat dalam pelayanan, pendidikan serta dapat terus berkarya dan berpengharapan,” ungkap Pdt. Pdt. O. Tuhumury/Sapulette, S.Si dalam khotbahnya saat ibadah Minggu (8/11) di Gereja Efrata Tantui, Kota Ambon. Menyadari akan hal ini, sebagai makhluk sosial yang diperhadapkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang berdampak pada ekonomi, kekuasaan serta jabatan, janganlah kita merasa kuat, hebat dan mampu untuk melakukan segala sesuatu. “Pembacaan firman di hari ini, mau menyadarkan kita warga GPM , baik sebagai pelayanan maupun juga jemaat, untuk bisa merenungkan bersama kebaikan Tuhan Yesus Kristus sebagai sumber pengharapan dalam hidup kita yang memberi kekuatan. Serta, jadikan gereja sebagai tempat menjalin rasa kekeluargaan antara sesama anggota gereja melalui keragaman budaya yang ada,” tuturnya. (IWU)

BPS Setor Rp13 M, Rp8 M dari GBU

AMBON,AE.–– Sudah dilaporkan kurang lebih enam tahun lalu, tapi kasus dugaan gratifikasi sebesar Rp8 miliar dari PT. Gemala Borneo Utama (GBU) kepada oknum pejabat di kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) belum diketahui proses hukumnya. Sementara jaksa Kejaksaan Tinggi Maluku terus mengejar setoran Rp13 miliar ke rekening pribadi Kepala Dinas ESDM Maluku, Martha Nanlohy. Kasus tersebut awalnya dilaporkan ke Polda Maluku pada tahun 2010 lalu. Ini setelah diketahui bahwa dana tersebut tidak dimasukkan ke dalam APBD kabupaten MBD. Nama bupati MBD, Barnabas Orno pun muncul sebagai salah pejabat yang diduga turut bermain dalam kucuran dana itu. Sebab, sebagai orang nomor satu di MBD, Orno menjadi pejabat yang terus didekati pihak PT. GBU untuk memuluskan obsesi mereka, melakukan eksplorasi emas di pulau Romang. Setelah dana disetor, lalu digunakan untuk proyek pematang sawah di Tiakur, Ibu kota MBD. Namun, hanya separoh dari dana itu yang digunakan. Belum lagi, pada tahun yang sama, Pemda setempat juga mengalokasikan dana melalui APBD untuk proyek yang sama pula. Bupati MBD yang dikonfirmasi pun memilih berkelit. Kata dia, tidak ada dana Rp8 miliar dari PT. GBU. “Aliran dana apa. Anda (wartawan) punya pertanyaan, jangan bertanya yang menjebak ,” katanya, menjawab Ambon Ekspres, beberapa waktu lalu. BACA JUGA: Irwan Patty Diganjar Alkostar Proses hukum di Polda Maluku berakhir tanpa hasil yang memuaskan. Dihentikan dengan alasan tudak ditemukan bukti yang kuat. Masalah itu pun diadukan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku. Namun, hingga kemarin, jaksa tidak menunjukkan kinerja serius dalam mengusutnya. “ Saya menilai bahwa Kejati Maluku terkesan lambat atau bahkan juga tidak meresponi laporan kasus dugaan gratifikasi dana Rp8 miliar yang disinyalir diberikan PT. GBU kepada bupati MBD. Padahal laporan itu sudah cukup lama,” kata ketua Koalisi Save Romang Island, Colin Leppuy, Minggu (21/8). Sikap jaksa itu, menurut Leppuy memantik rasa curiga publik bahwa sengaja didiamkan kasus tersebut karena jaksa sudah terpengaruh dengan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam praktik beraroma gratifikasi itu. Model penanganan kasus oleh Kejati seperti ini, menunjukan bahwa ada upaya pelemahan hukum di Kejati Maluku, akibat oknum yang tidak bertanggngjawab. Apalagi saat ini gerakan penolakan terhadap PT. GBU semakin kuat. Anggota Koalisi Save Romang Island, Costansius Kolatfeka mendesak Kejati Maluku untuk memanggil bupati MBD, Barnabas Orno untuk dimintai keterangan tentang aliran danan Rp8 miliar itu. Kata dia, publik sudah menaruh harapan besar agar kasus itu terungkap secara jelas melalui proses hukum. Dan siapa pun yang terlibat harus dimintai keterangan bahkan pertanggungjawaban. “Sekarang jaksa sudah gencar mengusut kasus dugaan gratifikasi di Gunung Botak. Kita berharap, jaksa juga menunjukkan kinerja yang sama untuk dugaan gratifikasi di MBD. Semua ini kan masalah tambang. Kenapa yang satu cepat, sementara yang lain tidak,” ungkapnya, kemarin. KNPI Dukung Koalisi Sementara itu, Koalisi Save Romang kembali mendapat dukungan. Kali ini datang dari Komiten Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Maluku. Ini memperkuat daya juang untuk mempertahankan hak-hak msyarakat Romang dan mendesak pemerintah untuk mencabut ijin produksi PT. GBU. “Saya sangat mengapresiasi dukungan KNPI Maluku terhadap gerakan Koalisi Save Romang Island saat diskusi terbatas dengan ketua KNPI Maluku, bung Boy Latuconsina, ketua OKK KNPI, dan beberapa pengurus KNPI di gedung KNPI Maluku pada hari jumat, 19 Agustus, pukul 15.30,” kata Collin Leppuy. Dengan dukungan tersebut, kata Leppuy KNPI telah menunjukkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat Romang. Bahwa Romang adalah bagian dari Maluku yang harus diselamatkan.” Karena memang ada masalah universal yang harus disikapi, seperti kemanusiaan, msyarakat adat dan lingkungan hdup,”jelasnya. Masyarakat Romang, kata dia sangat membutuhkan peran semua pihak, termasuk KNPI untuk menyelesaikan persoalan di sana, menyusul adanya aktivitas PT. GBU. Ini menunjukan bhwa KNPI pro terhadap masyarakat Romang. Koalisi Save Romang telah menempuh beberapa cara untuk mendesak pemerintah agar menghentikan aktivitas PT. GBU karena telah mengakibatkan terjadinya sejumlah masalah di sana. Mulai dari masalah penggunaan lahan, masalah perijinan, lingkungan serta masalah keamanan. Masalah ini pernah diadukan secara langsung kepada DPRD Maluku. Para wakil rakyat juga menyambut laporan itu dengan berjanji, memanggil pejabat terkait, setelah mereka meninjau secara langsung kondis di pulau Romang, pada September mendatang. Koalisi Save Romang juga telah menyampaikan surat untuk bertemu gubernur Maluku, Said Assagaaff, guna menyampaikan berbagai temuan di lapangan maupun hasil kajian tentang aktivitas PT. GBU yang diduga menabrak sejumlah aturan terkait pertambangan dan lingkungan. Namun, gubernur memilih tidak menanggapi keinginan Koalisi Save Romang itu dengan alasan, laporan itu seharusnya disampaikan oleh pemerintahan desa sebagai bagian dari struktur pemerintah. Koalisi Save Romang Island pun mencoba ‘ mengetuk pintu hati’ pemerintah melalui demonstrasi. Namun, dua kali rencana itu tidak berjalan mulus. Selalu berhenti saat mereka sudah memulai aksi di jalan. Sebabnya, polisi memaksa mereka untuk bubar. Padahal, sudah menyampaikan surat pemberitahuan. Ada dengan polisi?. “ Masalah Romang, itu kan saya sudah kasih tahu Kasat Intel. Jangan dulu ada demo jelang upacara 17 Agustus (HUT RI). Saya bilang, janganlah demo-demo dulu. Apalagi sudah mau Pilkada,” kata Kapolres Pulau Ambon dan Pp Lease, AKBP Harold Huwae.(MAN)

Kamis, 08 September 2016

22 Prinsip Pengembangan Masyarakat atau Community Development (Comdev)

22 Prinsip Pengembangan Masyarakat atau Community Development (Comdev) comdef Community development (CD) adalah salah satu teknik kajian baru yang sering digunakan untuk melihat perkembangan dan potensi masalah satu komunitas lingkungan yang menitikberatkan pada ke-integralan komunitas yang terkait. Membahas pengembangan komunitas (CD) tidak mungkin sama menyusun petunjuk teknis pengembangan komunitas. Dua alasan mengapa hal ini tidak mungkin adalah : Tidak ada satu pun teknik yang dapat berlaku umum dan dapat diterapkan persis di semua komunitas, karena masing-masing komunitas memiliki karakteristik sendiri. Sesuatu yang pernah berhasil diterapkan di dalam suatu komunitas belum tentu akan berhasil jika diterapkan persis di komunitas lain tanpa penyesuaian ke kondisi setempat. Karenanya prinsip – prinsip di bawah ini dinilai sebagai sebuah rambu-rambu dalam pelaksanaan pengembangan komunitas. Prinsip-prinsip pengembangan komunitas yang sebagaimana sudah disebut terdiri dari 22 prinsip yaitu : Pembangunan Terpadu Pembangunan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, kepribadian dan spiritual merupakan aspek penting dalam kehidupan setiap komunitas. Menangani Ketidakberuntungan Struktural Maksud utama program pengembangan komunitas adalah tercapainya keadilan sosial. Setiap hambatan struktural seperti diskriminasi yang berbasis ras/etnik, agama, gender dsb harus diperhitungkan. Menghargai Hak Asasi Manusia Pemahaman dan tekad yang kuat untuk melindungi dan melaksanakan hak asasi manusia menjadi basis penting bagi pengembangan komunitas. Keberlanjutan (Sustainability) Agar penggunaan segala jenis sumberdaya tak terbarukan seminimal mungkin. Implikasi praktis terhadap penggunaan lahan, gaya hidup, perlindungan sumber daya alam dan sebagainya. Pemberdayaan (Ewpowerment) Penyediaan sumber daya (source of power), kesempatan, pengetahuan dan keterampilan bagi komunitas agar mereka mampu meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan memberi warna kehidupannya. Peningkatan Kesadaran Pada Hubungan Interaksi Antara Individu Dengan Proses Politik Merupakan langkah awal paling kritis dalam peningkatan kesadaran (consiousness raising) yang menjadi salah satu instrumen dalam rangka pemberdayaan. Basis Kepemilikan (Asset-Base) Dan Peningkatan Rasa Memiliki (Sense Of Belonging) Akan meningkatkan jati diri, menjadi alasan bagi komunitas untuk terlibat dalam pengelolaan dan perolehan manfaat atas sesuatu yang menjadi milik bersama tersebut dan akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya. Kemandirian (Keswadayaan) Agar sedapat mungkin menggunakan sumber daya yang tersedia dari dalam komunitas dan meminimalisasi penggunaan sumber daya dari luar. Independensi (Dalam Hubungan Komunitas Dengan Pemerintah) Banyak bukti yang menunjukkan bahwa upaya-upaya pengembangan komunitas yang disponsori oleh Pemerintah bukan memandirikan dan memberdayakan komunitas tetapi malah menciptakan ketergantungan dan pelemahan. Keselarasan Antara Pencapaian Tujuan Jangka Pendek Dengan Visi Masa Depan Memfokuskan energi pada tujuan jangka pendek semata akan menggagalkan pencapaian tujuan jangka panjang. Sebaliknya, mengerahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang akan mengundang keputus-asaan karena seolah-olah tidak pernah menghasilkan sesuatu. Pendekatan Pembangunan Yang Organik Upaya-upaya pengembangan komunitas tidak dapat diatur dan dikendalikan dengan rumus-rumus teknis sebab-akibat sederhana tetapi lebih merupakan suatu proses dinamika yang kompleks. Pemilihan Ritme Pembangunan Proses pembangunan dapat distimulasi dan didorong tetapi tidak dapat dipaksa, dipercepat atau diperlambat. Pasokan (Supply) Pakar Dan Kepakaran Dari Luar Prinsip paling penting adalah ‘jangan pernah percaya sepenuhnya pada struktur dan solusi dari luar komunitas’ betatapun struktur dan solusi itu ditawarkan dengan maksud baik. Pentingnya Pembangunan Komunitas Pembangunan komunitas terdiri dari penguatan interaksi sosial di dalam komunitas, membangun kebersamaan, membantu komunitas berkomunikasi satu dengan yang lain dalam cara yang mendorong terciptanya dialog yang efektif, saling memahami menuju terlaksananya kegiatan dan tujuan bersama. Keselarasan Antara Proses Dan Hasil Keduanya jadi bagian yang sama penting dan tidak sebagai fenomena terpisah. Keterpaduan Proses Harus dipandang dari adanya persesuaian dan keterhubungan antara satu proses yang digunakan dalam melaksanakan satu bagian kegiatan dengan proses kegiatan lainnya. Anti- Kekerasan (Non Violence) Mustahil proses yang mengandung kekerasan dapat menghasilkan sesuatu yang tidak mengandung kekerasan. Pengikutsertaan (Inclusiveness) Jika ada kelompok yang tidak sepakat atas sesuatu hal yang berhubungan dengan suatu keputusan, kelompok itu tetap harus diikutsertakan dalam proses bukan malah disingkirkan. Konsensus (Mufakat) Begitu keputusan diambil maka semua pihak akan merasa memiliki keputusan itu dan lebih dipastikan semua pihak akan cenderung menjaga dan mematuhi keputusan itu secara swakarsa. Kerjasama Persaingan selalu mengarah pada situasi menang/kalah, tetapi persilangan (kerjasama) selalu lebih mengarah pada situasi menang/menang. Partisipasi Semakin banyak orang berpartisipasi aktif, semakin tinggi rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap apa yang sudah dimiliki dan apa yang sedang diupayakan oleh komunitas. Hak Komunitas Mendefinisikan Kebutuhannya Sendiri Komunitas dimungkinkan mendefinisikan dan menyatakan kebutuhan yang mereka rasakan Langkah-langkah penting dari konsep Community Development (CD) tersebut : Keikutsertaan masyarakat dalam mengungkapkan kebutuhan dasar kehidupannya didalam proses perencanaan daerah Penentuan prioritas pembangunan daerah Pelibatan dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan daerah Penyediaan fasilitas dan utilitas oleh pihak swasta dalam pemenuhan kewajibannya Keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi/memantau pelaksanaan pembangunan daerah termasuk oleh pihak swasta Prioritas dalam pemanfaatan fasilitas dan utilitas permukiman serta pemeliharaannya Keberlangsungan kehidupan perusahaan Keberlanjutan sumber daya alam & kelestarian lingkungan Kepastian hukum dan pelayanan administrasi usaha Pengembangan perencanaan selanjutnya

Selasa, 06 September 2016

PRODUK HUKUM PELAKSANAAN UU DESA | Pemerintah Kabupaten Banyumas

PRODUK HUKUM PELAKSANAAN UU DESA | Pemerintah Kabupaten Banyumas

Pemberdaya Masyarakat: Penyusunan Peraturan Desa

Pemberdaya Masyarakat: Penyusunan Peraturan Desa: HO MK Administrasi Pemerintah Desa PRODUK HUKUM DI DESA PENYUSUNAN PERATURAN DESA DAN KEPUTUSAN KEPALA DESA Oleh   Johanis Nis...

RISET DAN KEILMUAN UNTUK MENDUKUNG UPAYA PENANGGULANGAN BENCANA

Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2010-2014 pada tahun 2012 telah dilakukan peninjauan (review) bersama dengan beberapa wakil Kementerian/Lembaga dan dokumen ini kembali akan ditinjau dengan melibatkan para akademisi. Renas PB 2010-2014 adalah dokumen perencanaan berjangka waktu lima tahun yang disusun berdasarkan amanat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007). Dokumen ini berisi kebijakan, strategi, program-program dan fokus prioritas PB Indonesia yang akan dilaksanakan dalam waktu lima tahun ke depan. Berdasarkan UU 24/2007 Renas PB akan ditinjau tiap dua tahun sekali dan bila terjadi bencana besar. Sebagai upaya mempersiapkan dokumen Renas PB periode berikutnya (2015-2019), BNPB akan memfokuskan pada 12 ancaman bencana yang sering terjadi di Indonesia. Langkah-langkah persiapan dalam melakukan tersebut dibahas dalam “Rapat Persiapan Workshop Riset Nasional dalam Penanggulangan Bencana” dengan beberapa Perguruan Tinggi (PT) dan Pusat Studi Bencana (PSB) pada tanggal 13 Februari 2013 di Hotel Millenium, Jakarta Pusat. Kegiatan ini dihadiri oleh 38 orang dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), 12 PT, Disaster Risk Reduction Indonesia (DRRI), United Nations Development Programe (UNDP), Platform Nasional PRB (Planas PRB), Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (Forum PT PRB) dan AIFDR. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Ir. Sugeng Triutomo, DESS. Dalam kata sambutannya, Sugeng Triutomo mengatakan bahwa dokumen Renas PB ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, Dr. Ir. Teddy W. Sudinda, M.Eng., menguraikan dengan rinci pola kerjasama antara BNPB dengan 12 PT tersebut. Teddy Sudinda mengatakan, “Landasan hukum kerjasama BNPB dan PT ini adalah kesepakatan kerjasama yang akan ditandatangani oleh Kepala BNPB dan Rektor. Kesepakatan kerjasama tersebut akan ditindaklajuti salah satunya oleh Pusat Studi Bencana dalam bentuk penyusunan naskah akademis penanggulangan bencana untuk mendukung dokumen Renas PB 2015-2019. Masing-masing PT akan menjadi focal point untuk membentuk tim yang kompeten dari akademisi dan mengadakan diskusi-diskusi sesuai topiknya.” Ke-12 PT itu antara lain UNSYAH (tsunami), UNAND (abrasi dan gelombang ekstrim), ITB (gempabumi), UI (cuaca ekstrim), IPB (kebakaran lahan dan hutan), UNDIP (banjir), UGM (longsor), ITS (kecelakaan industri), UPN Veteran Yogyakarta (gunung api), UNHAS (erosi), UNUD (kekeringan), dan UNAIR (epidemi dan wabah penyakit). Hasil penelitian ke-12 PT tersebut diharapkan akan menjadi naskah akademik untuk lampiran dalam dokumen Renas PB 2015-2019. Teddy W. Sudinda memaparkan lebih lanjut bahwa penelitian mengenai ancaman bencana dilakukan dengan basis pengkajian risiko bencana dan sinergi antara Kementerian/Lembaga (K/L) dan perguruan tinggi. Untuk landasan pengkajian risiko bencana adalah Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Dalam menjalankan penelitian dilaksanakan dengan paradigma risiko, yaitu ancaman/bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Dalam hal ini SATU bencana, ditangani oleh MULTI pelaku (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha). Agar ada kesamaan maka dalam penyusunan naskah akademik di atas digunakan format penulisan yang sama, sinergi pakar kebencanaan dari perguruan tinggi, dan dengan dukungan tim Asistensi. Jadi, untuk penyusunan naskah akademis akan didukung oleh beberapa tim yang terdiri dari tim substansi, tim penyusun, tim asistensi dan tim administrasi. Tim Substansi terdiri dari kumpulan pakar dari berbagai perguruan tinggi. Tim Penyusun terdiri dari kumpulan pakar dari perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai focal point. Tim Asistensi adalah tim yang dibentuk oleh BNPB. Sedangkan Tim Administrasi merupakan kumpulan tenaga administrasi dari perguruan tinggi yang ditunjuk dengan tujuan membantu proses administrasi. Teddy W. Sudinda menutup pemaparannya dengan mengatakan, “Penandatangan kesepakatan kerjasama antara BNPB dengan 12 PT direncanakan dilakukan dalam kegiatan Workshop Nasional Riset dalam Penanggulangan Bencana yang direncanakan pada akhir Februari 2013 di Jakarta.” Kepala Subdirektorat Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan, S.T.,M.Si., mengatakan bahwa Renas PB 2010-2014 sudah dilakukan evaluasi mid term. Sebagai indikator evaluasi adalah Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework of Action – HFA) pada bagian fokus prioritas Renas PB. Sebagai hasilnya adalah 75% indikator HFA diinternalisasi dalam fokus prioritas Renas PB 2010-2014. Dalam implementasi Renas PB pada tahun 2012 dilaksanakan oleh 12 K/L utama dan 83% fokus prioritas sudah dilaksanakan. Dalam analisis didapatkan bahwa hanya ada 2 K/L yang telah membuat roadmap terkait Renas PB, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan BNPB. Sebagian besar (80 %) yang dilakukan adalah program generik. Sumber: Direktorat Pengurangan Risiko Bencana-BNPB

Senin, 05 September 2016

Peraturan BNPB TTg Kajian Risiko Bencana No 2 Tahun 2012

Banyak sekali BPBD di wilayah propinsi Maluku belum mangacu pada Peraturan No 2 Tahun 2012 untuk kajian risiko bencana. untuk itu perlu adanya BPBD setiap kabupaten dan kota di wilayah Propinsi Maluku mengacu di aturann tersebut sehingga jangan sampai hanya ceremonial workshop yanmg dilakukan oleh BPBD kota ambon sesuai informasi yang di rilis oleh maluku expose , 6 september 2016.

Periode Agustus 51 Sarjana Unpatti Lulus Dengan Predikat Cumlaude

Periode Agustus 51 Sarjana Unpatti Lulus Dengan Predikat Cumlaude Ambon, DemokrasiNews 31 Agustus 2016 Universitas Pattimura Ambon kembali menelorkan 1.160 orang sarjana yang terdiri dari 1.007 sarjana regular dan 163 orang sarjana non regular (ekxtensi), profesi dokter 12 orang dan pasca sarjana 130 orang, Untuk program sarjana regular IPK tertinggi Cum-laude diraih oleh Lussy Leonora Latuputty dengan IPK 3,90 dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, Lulusan termuda Cum-Laude diraih oleh Aldanita Ilona Ubro dengan IPK 3,82 dari Fakultas Hukum Unpatti yang pada hari ini berusia 21 tahun 1 bulan Lahir (24 Juli 1997) dari total tersebut 51 orang sarjana reguler berhasil meraih predikat Cum-laude, demikian Rektor Unpatti Prof.R. Martinus Sapteno,SH,MHum dalam sambutannya pada acara wisuda sarjana dan pasca sarjana Unpatti Rabu (31/8) di Aula Audotoroium Utama Unpatti. Sapteno mengatakan, hari ini saudara telah berhasil dan sukses memperoleh gelar akademik sarjana, dokter dan magister untuk itu kami pimpinan Universitas Pattimura menyampaikan selamat kepada saudara maupun keluarga saudara dan turut bangga dengan prestasi saudara. Kami mengharapkan ilmu agar saudara dapat mengamalkan ilmu dalam profesi saudara masing-masing secara lebih bertanggungjawab dan berkualitas dengan menjunjung tinggi budaya akademik dan etos kerja. Selanjutnya Sapteno meminta agar para lulusan Unpatti agar dapat menjaga nama almamater, belajarlah sepanjang hayat, almamater selalu menanti anda, capailah gelar yang lebih tinggi. Alumnus Unpatti harus menjadi agen perubahan bangsa ini dengan bekerja keras, jujur dan disiplin, lakukan perubahan dari diri sendiri, mulai sekarang dan mulai dari yang mudah. Ini yang saya maksudkan dengan budaya akademik dan etos kerja. Kepada orang tua kami mengucapkan selamat berbahagia atas lulusnya putra-putri bapak ibu sekalian, hal ini juga tentunya merupakan kesuksesan dan kebahagiaan orang tua dan keluarga. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kemudahan kepada para wisudawan untuk segera bekerja dan sukses dikemudian hari bagi sudah yang bekerja, demikian Sapteno. Kemandirian akademik yang tercipta sebagai bagian dari pembiasaan-pembiasaan yang membudaya untuk melahirkan karakter akademik dengan sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis analitis, rasional dan objektif oleh warga masyarakat akademik adalah merupakan totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik. Oleh karena itu tanpa mengharagai secara objektif, tanpa pemikiran rasional dan kritis analitis yang disertai tanggungjawab moral begitu pula dengan kebiasaan-kebiasaan membaca dan menulis dapat dikatakan bahwa budaya akademik sebagai totalitas nilai yang tinggi dalam kehidupan dan kegiatan akademik mengalami kegagalan atau bahkan kehancuran. Selanjutnya Sapteno katakan, konsep pikir tersebut saya yakini telah dijiwai dan dimaknai bahkan telah dimiliki saudara selama masa studi yang berlangsung beberapa tahun di Universitas ini. Dengan demikian almamater dapat berbangga karena karakter sebagai penjelmaan budaya akademik dengan cirri-ciri tadi telah saudara miliki sebagai modal dasar bagi pengabdian saudara dimana saudara berkarya, demikian Sapteno. (D-02/04)
Lokakarya I Kegiatan Kajian Risiko Bencana di Sulawesi Selatan - See more at: http://openstreetmap.id/lokakarya-i-kegiatan-kajian-risiko-bencana-di-sulawesi-selatan/#sthash.TGvap4MZ.dpuf
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menerbitkan instruksi presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang penghematan anggaran Kementerian dan Lembaga. Ada 87 kementerian dan lembaga yang tercantum dalam Inpres tersebut per tanggal 26 Agustus 2016. Namun, tiga lembaga di parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah tidak diminta untuk menghemat anggarannya. Berdasarkan Inpres yang diunggah Setkab.go.id, anggaran DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 mencapai Rp 4,7 Triliun. Anggaran untuk DPR ini tidak diotak-atik dan hanya diberi tanda strip di kolom penghematan anggaran. Begitu juga anggaran untuk MPR sebesar Rp 768 Miliar dan DPD Rp 801 Miliar. Adapun kementerian yang tidak diminta melakukan penghematan hanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang memiliki anggaran Rp 707 Miliar. Di luar itu, sebanyak 83 kementerian atau lembaga lainnya diminta untuk menghemat anggaran. Total anggaran yang dihemat dari 83 kementerian dan lembaga itu mencapai Rp 64 Triliun. Penghematan terendah menjadi beban Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebesar Rp 2,7 miliar. Sementara penghematan tertinggi dibebankan kepada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 7,9 triliun. Dalam Inpres dijelaskan bahwa penghematan dilakukan utamanya terhadap belanja honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan. Kemudian, biaya rapat, iklan, operasional perkantoran lainnya, pemeliharaan gedung, peralatan kantor serta pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang dan/atau swakelola. Selain itu, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya. Penulis : Ihsanuddin Editor : Sandro Gatra

Minggu, 04 September 2016

Pemeteaan Partisipatif untuk mengurangi konflik pemilik tanah dan msy

Pemetaan Partisipatif

Pemetaan partisipatif adalah cara yang terbaik dalam mengurangi konflik perusahaan dengan masyarakat dan pemilik tanah adat atau lahan.

karena sudah banyak pelajaran yang di alami masysrakat di papua karea adanya konflik lahan.. dan banyak aktivitas atau lembaga NGO yang melakukan pemetaan partisipatif diana menghadirkan semua pemilik lahan dan ondoafi dalam memutuskan secara bersama apakah lahan ini bisa di gunakan pengusaha atau tidak..mari kita baca salah satu contoh di bawah ini :

Hal ini mengemuka dalam Journalist Class bertema “Pemetaan Partisipatif Kunci Penguatan Masyarakat Adat Papua”, di Jayapura, Papua, Kamis (23/10/14). Turut hadir sejumlah media nasional dan Papua, termasuk Mongabay.
Acara ini terselenggara kerjasama Yayasan Perspektif Baru (YPB), Samdhana Institute dan PT PPMA. Turut menjadi narasumber antara lain, Deny Rahadian, direktur  eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), Laurens Lani; kepala bagian Registrasi Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua, Yulianus Keagop dan Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Zadrak Wamebu.
Deny Rahadian banyak menjelaskan definisi dan proses pemetaan, yang dimulai sosialisasi, lokakarya, pengambilan data di lapangan, proses pembuatan peta hingga digitasi.  Hasilnya, dirembukkan dalam komunitas itu sebelum disahkan komunitas dan diajukan ke pemerintah. Lalu, diintegrasikan dengan kebijakan tata ruang pemerintah daerah.
Menurut Deny, peta ini alat membantu masyarakat menentukan ruang kelola berupa dokumentasi dan dokumen sosial.
“Ini harus mengingat selama ini budaya tutur kita sangat kuat, sementara budaya dokumentasi lemah,” katanya.
Pemetaan partisipatif, katanya, menjadi penting agar batas-batas wilayah adat dan perusahaan menjadi jelas. “Ini alat efektif menentukan batas wilayah dan pengorganisasian masyarakat. Bisa menjadi alat advokasi di daerah dan nasional.”
Menurut dia, ada tiga hal mengapa pemetaan partisipatif penting. Pertama, banyak konflik keruangan, penyerobotan lahan, tumpang tindih pengelolaan, konflik batas, konflik penguasaan dan pengaturan sumber daya alam.
Kedua, posisi tawar masyarakat lemah akibat tidak ada bukti tertulis wilayah kelola mereka.  Ketiga, pelibatan masyarakat lemah dalam proses pembangunan.
Secara nasional, perkiraan luas indikatif wilayah adat mencapai 42 juta hektar, berdasarkan analisis spasial menggunakan Geografic Information System (GIS). Versi lain menggunakan metode groundcheck melalui FGD pada 13 DAS sekitar 40 juta hektar.
“Luasan indikatif menggunakan kedua pendekatan ini tidak jauh beda. Jumlah tak begitu jauh.”
Menurut dia, satu upaya mendukung proses pemetaan partisipatif melalui pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Ia dibentuk atas inisiasi sejumlah lembaga, antara lain JKPP, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan sejumlah lembaga lain.
“BRWA ini proses pengakuan melalui registrasi bersifat adhoc, hanya proses antara, sebelum pemerintah membentuk badan sendiri terkait ini.”
Deny menyinggung, menuju kebijakan satu peta (one map Indonesia), sebagaimana salah satu visi misi pemerintahan Jokowi. Selama ini, ada UU acuan dan memuat dasar IGT, yaitu UU Kehutanan, UU ESDM, UU Pemda, UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Selama ini, IGT yang tidak merujuk satu sumber peta dasar, hingga menimbulkan kesimpangsiuran, masing-masing dengan peta sendiri. “Ketika ditanyakan ke BIG bagaimana penyatuan, mereka selalu bilang bukan wewenang mereka.”

Tambang di tepian Sungai Degeuwo oleh PT Martha Mining. Masyarakat adat di daerah itu menderita, harus menanggung bebas kerusakan lingkungan, masalah sosial hingga wilayah adat terampas. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni
Papua, selama ini dianggap salah satu pelopor dalam pemetaan partisipatif, karena sejak 2002. Di Jayapura, kini terdapat sembilan komunitas adat sudah pemetaan wilayah dan kini proses pengakuan pemerintah daerah melalui SK Bupati.
Menurut Zadrak, pemetaan partisipatif penting karena keberadaan masyarakat hukum adat tidak begitu diakui dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengakuan masyarakat adat yang mempersyaratakan keberadaan dan pelaksanaan, katanya, kurang tepat.
Syarat keberadaan, misal, antara lain komunitas baru diakui bila  ada sekelompok orang terikat oleh hukum adat dan    menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada wilayah adat atau tanah dan terdapat aturan hukum penguasaan dan penggunaan tanah.
Syarat pelaksanaan, berlaku ketika eksistensi terpenuhi. Dalam pelaksanaan harus “sesuai kepentingan nasional dan negara”.
“Ini justru membingungkan dan memberi ruang kepada semua pihak menafsirkan sesuai kepentingan.”
Zadrak menilai, negara dapat mengizinkan BUMN maupun BUMS mengelola untuk mendatangkan keuntungan bagi negara. Masyarakat adat justru tidak mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi.
Dia menyoroti, kebijakan orda baru yang memperlakukan wilayah Papua sebagai daerah tak bertuan. Pemerintah menggunakan sejumlah UU sebagai acuan, seperti UU Agraria, UU Kehutanan dan UU yang terkait tambang minyak dan gas bumi.
Pemerintah mengelola kekayaan bumi dan air dalam skala besar dan merusak lingkungan serta mengganggu ekosistem. Masyarakat hanya dapat semacam dana kompensasi hak ulayat dengan nilai tidak  sebanding.
Dampak lain, perubahan pola hidup masyarakat. Semula menggantungkan  diri pada kekayaan alam sesuai kebutuhan.Kini, bahan konsumsi dari luar yang menggunakan uang. “Perusahaan pun tidak menggunakan tenaga kerja lokal karena  tidak memenuhi standar kerja pengelola.”
PMAA, kata Zardak melakukan sejumlah pemetaan sosial di Jayapura dan sekitar, termasuk peta tematik. Salah satu di wilayah adat Namblong, dengan luas wilayah 45.000 hektar.
“Daerah lain masih draf antara lain di Kemtuik dan Sentani. Kemtuik finalisasi menunggu pengesahan, di Sentani masih draf awal. Ada juga komunitas Moi, kita sudah sosialisasi awal.”
Di Moi, Kampung Klayili, Sorong, Papua Barat,  kini menghadapi konflik dengan PT Henrison Ini Persada (HIP). “Laporan Telapak dan Environmental Investigation Agency 2012 menemukan HIP memarjinalkan warga dengan membayar rendah lahan dan kayu masyarakat Moi. Saat ini masyarakat Moi berjuang melawan alih fungsi hutan ini.”
Pemetaan partisipatif diakui Direktur YBAW, Laurens Lani, merupakan pekerjaan tidak mudah. Medan pemetaan luas dengan kondisi geografi menantang, juga kendala resistensi dari sejumlah pihak yang terganggu dengan pemetaan.
“Saya pernah mendapatkan ancaman Bupati yang merasa terganggu karena mungkin di kawasan itu ada lahan usahanya.”
Tantangan lain, tuduhan menghasut masyarakat dan persoalan internal di masyarakat adat itu sendiri. “Misal, dualisme adat, antara dewan adat dengan lembaga masyarakat adat, membuat struktur adat tidak jelas.
YBAW melakukan pendampingan pemetaan komunitas Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Tantangan, alam kawasan ini cukup berat karena di ketinggian antara 2.000-3.000 dpl, sebagian besar gunung dan lereng terjal.
Pemetaan partisipatif di Papua, khusus di Jayapura mendapat dukungan pemerintah daerah. Bupati Jayapura, Mathius Awoithuw, 13 Oktober 2014, di Grime, menandatangani peta wilayah adat Klesi-Kemtuik.
Mereka juga mendapat dukungan Kemitraan Institute dan Samdhana Institute. Samdhana juga mendorong pengakuan hukum peta yang dibuat masyarakat, dan membantu masyarakat mengembangkan kemampuan mengelola tanah masing-masing.