Selasa, 06 September 2016
Pemberdaya Masyarakat: Penyusunan Peraturan Desa
Pemberdaya Masyarakat: Penyusunan Peraturan Desa: HO MK Administrasi Pemerintah Desa PRODUK HUKUM DI DESA PENYUSUNAN PERATURAN DESA DAN KEPUTUSAN KEPALA DESA Oleh Johanis Nis...
RISET DAN KEILMUAN UNTUK MENDUKUNG UPAYA PENANGGULANGAN BENCANA
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2010-2014 pada tahun 2012 telah dilakukan peninjauan (review) bersama dengan beberapa wakil Kementerian/Lembaga dan dokumen ini kembali akan ditinjau dengan melibatkan para akademisi. Renas PB 2010-2014 adalah dokumen perencanaan berjangka waktu lima tahun yang disusun berdasarkan amanat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007). Dokumen ini berisi kebijakan, strategi, program-program dan fokus prioritas PB Indonesia yang akan dilaksanakan dalam waktu lima tahun ke depan. Berdasarkan UU 24/2007 Renas PB akan ditinjau tiap dua tahun sekali dan bila terjadi bencana besar.
Sebagai upaya mempersiapkan dokumen Renas PB periode berikutnya (2015-2019), BNPB akan memfokuskan pada 12 ancaman bencana yang sering terjadi di Indonesia. Langkah-langkah persiapan dalam melakukan tersebut dibahas dalam “Rapat Persiapan Workshop Riset Nasional dalam Penanggulangan Bencana” dengan beberapa Perguruan Tinggi (PT) dan Pusat Studi Bencana (PSB) pada tanggal 13 Februari 2013 di Hotel Millenium, Jakarta Pusat. Kegiatan ini dihadiri oleh 38 orang dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), 12 PT, Disaster Risk Reduction Indonesia (DRRI), United Nations Development Programe (UNDP), Platform Nasional PRB (Planas PRB), Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (Forum PT PRB) dan AIFDR.
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Ir. Sugeng Triutomo, DESS. Dalam kata sambutannya, Sugeng Triutomo mengatakan bahwa dokumen Renas PB ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, Dr. Ir. Teddy W. Sudinda, M.Eng., menguraikan dengan rinci pola kerjasama antara BNPB dengan 12 PT tersebut. Teddy Sudinda mengatakan, “Landasan hukum kerjasama BNPB dan PT ini adalah kesepakatan kerjasama yang akan ditandatangani oleh Kepala BNPB dan Rektor. Kesepakatan kerjasama tersebut akan ditindaklajuti salah satunya oleh Pusat Studi Bencana dalam bentuk penyusunan naskah akademis penanggulangan bencana untuk mendukung dokumen Renas PB 2015-2019. Masing-masing PT akan menjadi focal point untuk membentuk tim yang kompeten dari akademisi dan mengadakan diskusi-diskusi sesuai topiknya.”
Ke-12 PT itu antara lain UNSYAH (tsunami), UNAND (abrasi dan gelombang ekstrim), ITB (gempabumi), UI (cuaca ekstrim), IPB (kebakaran lahan dan hutan), UNDIP (banjir), UGM (longsor), ITS (kecelakaan industri), UPN Veteran Yogyakarta (gunung api), UNHAS (erosi), UNUD (kekeringan), dan UNAIR (epidemi dan wabah penyakit). Hasil penelitian ke-12 PT tersebut diharapkan akan menjadi naskah akademik untuk lampiran dalam dokumen Renas PB 2015-2019.
Teddy W. Sudinda memaparkan lebih lanjut bahwa penelitian mengenai ancaman bencana dilakukan dengan basis pengkajian risiko bencana dan sinergi antara Kementerian/Lembaga (K/L) dan perguruan tinggi. Untuk landasan pengkajian risiko bencana adalah Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Dalam menjalankan penelitian dilaksanakan dengan paradigma risiko, yaitu ancaman/bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Dalam hal ini SATU bencana, ditangani oleh MULTI pelaku (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha).
Agar ada kesamaan maka dalam penyusunan naskah akademik di atas digunakan format penulisan yang sama, sinergi pakar kebencanaan dari perguruan tinggi, dan dengan dukungan tim Asistensi. Jadi, untuk penyusunan naskah akademis akan didukung oleh beberapa tim yang terdiri dari tim substansi, tim penyusun, tim asistensi dan tim administrasi. Tim Substansi terdiri dari kumpulan pakar dari berbagai perguruan tinggi. Tim Penyusun terdiri dari kumpulan pakar dari perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai focal point. Tim Asistensi adalah tim yang dibentuk oleh BNPB. Sedangkan Tim Administrasi merupakan kumpulan tenaga administrasi dari perguruan tinggi yang ditunjuk dengan tujuan membantu proses administrasi.
Teddy W. Sudinda menutup pemaparannya dengan mengatakan, “Penandatangan kesepakatan kerjasama antara BNPB dengan 12 PT direncanakan dilakukan dalam kegiatan Workshop Nasional Riset dalam Penanggulangan Bencana yang direncanakan pada akhir Februari 2013 di Jakarta.”
Kepala Subdirektorat Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan, S.T.,M.Si., mengatakan bahwa Renas PB 2010-2014 sudah dilakukan evaluasi mid term. Sebagai indikator evaluasi adalah Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework of Action – HFA) pada bagian fokus prioritas Renas PB. Sebagai hasilnya adalah 75% indikator HFA diinternalisasi dalam fokus prioritas Renas PB 2010-2014. Dalam implementasi Renas PB pada tahun 2012 dilaksanakan oleh 12 K/L utama dan 83% fokus prioritas sudah dilaksanakan. Dalam analisis didapatkan bahwa hanya ada 2 K/L yang telah membuat roadmap terkait Renas PB, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan BNPB. Sebagian besar (80 %) yang dilakukan adalah program generik.
Sumber: Direktorat Pengurangan Risiko Bencana-BNPB
Senin, 05 September 2016
Peraturan BNPB TTg Kajian Risiko Bencana No 2 Tahun 2012
Banyak sekali BPBD di wilayah propinsi Maluku belum mangacu pada Peraturan No 2 Tahun 2012 untuk kajian risiko bencana.
untuk itu perlu adanya BPBD setiap kabupaten dan kota di wilayah Propinsi Maluku mengacu di aturann tersebut sehingga jangan sampai hanya ceremonial workshop yanmg dilakukan oleh BPBD kota ambon sesuai informasi yang di rilis oleh maluku expose , 6 september 2016.
Periode Agustus 51 Sarjana Unpatti Lulus Dengan Predikat Cumlaude
Periode Agustus 51 Sarjana Unpatti Lulus Dengan Predikat Cumlaude
Ambon, DemokrasiNews
31 Agustus 2016 Universitas Pattimura Ambon kembali menelorkan 1.160 orang sarjana yang terdiri dari 1.007 sarjana regular dan 163 orang sarjana non regular (ekxtensi), profesi dokter 12 orang dan pasca sarjana 130 orang, Untuk program sarjana regular IPK tertinggi Cum-laude diraih oleh Lussy Leonora Latuputty dengan IPK 3,90 dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, Lulusan termuda Cum-Laude diraih oleh Aldanita Ilona Ubro dengan IPK 3,82 dari Fakultas Hukum Unpatti yang pada hari ini berusia 21 tahun 1 bulan Lahir (24 Juli 1997) dari total tersebut 51 orang sarjana reguler berhasil meraih predikat Cum-laude, demikian Rektor Unpatti Prof.R. Martinus Sapteno,SH,MHum dalam sambutannya pada acara wisuda sarjana dan pasca sarjana Unpatti Rabu (31/8) di Aula Audotoroium Utama Unpatti.
Sapteno mengatakan, hari ini saudara telah berhasil dan sukses memperoleh gelar akademik sarjana, dokter dan magister untuk itu kami pimpinan Universitas Pattimura menyampaikan selamat kepada saudara maupun keluarga saudara dan turut bangga dengan prestasi saudara. Kami mengharapkan ilmu agar saudara dapat mengamalkan ilmu dalam profesi saudara masing-masing secara lebih bertanggungjawab dan berkualitas dengan menjunjung tinggi budaya akademik dan etos kerja.
Selanjutnya Sapteno meminta agar para lulusan Unpatti agar dapat menjaga nama almamater, belajarlah sepanjang hayat, almamater selalu menanti anda, capailah gelar yang lebih tinggi. Alumnus Unpatti harus menjadi agen perubahan bangsa ini dengan bekerja keras, jujur dan disiplin, lakukan perubahan dari diri sendiri, mulai sekarang dan mulai dari yang mudah. Ini yang saya maksudkan dengan budaya akademik dan etos kerja. Kepada orang tua kami mengucapkan selamat berbahagia atas lulusnya putra-putri bapak ibu sekalian, hal ini juga tentunya merupakan kesuksesan dan kebahagiaan orang tua dan keluarga. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kemudahan kepada para wisudawan untuk segera bekerja dan sukses dikemudian hari bagi sudah yang bekerja, demikian Sapteno.
Kemandirian akademik yang tercipta sebagai bagian dari pembiasaan-pembiasaan yang membudaya untuk melahirkan karakter akademik dengan sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis analitis, rasional dan objektif oleh warga masyarakat akademik adalah merupakan totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik. Oleh karena itu tanpa mengharagai secara objektif, tanpa pemikiran rasional dan kritis analitis yang disertai tanggungjawab moral begitu pula dengan kebiasaan-kebiasaan membaca dan menulis dapat dikatakan bahwa budaya akademik sebagai totalitas nilai yang tinggi dalam kehidupan dan kegiatan akademik mengalami kegagalan atau bahkan kehancuran.
Selanjutnya Sapteno katakan, konsep pikir tersebut saya yakini telah dijiwai dan dimaknai bahkan telah dimiliki saudara selama masa studi yang berlangsung beberapa tahun di Universitas ini. Dengan demikian almamater dapat berbangga karena karakter sebagai penjelmaan budaya akademik dengan cirri-ciri tadi telah saudara miliki sebagai modal dasar bagi pengabdian saudara dimana saudara berkarya, demikian Sapteno. (D-02/04)
Lokakarya I Kegiatan Kajian Risiko Bencana di Sulawesi Selatan - See more at: http://openstreetmap.id/lokakarya-i-kegiatan-kajian-risiko-bencana-di-sulawesi-selatan/#sthash.TGvap4MZ.dpuf
JAKARTA, KOMPAS.com
- Presiden Joko Widodo menerbitkan instruksi presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang penghematan anggaran Kementerian dan Lembaga.
Ada 87 kementerian dan lembaga yang tercantum dalam Inpres tersebut per tanggal 26 Agustus 2016.
Namun, tiga lembaga di parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah tidak diminta untuk menghemat anggarannya.
Berdasarkan Inpres yang diunggah Setkab.go.id, anggaran DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 mencapai Rp 4,7 Triliun.
Anggaran untuk DPR ini tidak diotak-atik dan hanya diberi tanda strip di kolom penghematan anggaran.
Begitu juga anggaran untuk MPR sebesar Rp 768 Miliar dan DPD Rp 801 Miliar.
Adapun kementerian yang tidak diminta melakukan penghematan hanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang memiliki anggaran Rp 707 Miliar.
Di luar itu, sebanyak 83 kementerian atau lembaga lainnya diminta untuk menghemat anggaran.
Total anggaran yang dihemat dari 83 kementerian dan lembaga itu mencapai Rp 64 Triliun.
Penghematan terendah menjadi beban Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebesar Rp 2,7 miliar.
Sementara penghematan tertinggi dibebankan kepada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 7,9 triliun.
Dalam Inpres dijelaskan bahwa penghematan dilakukan utamanya terhadap belanja honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan.
Kemudian, biaya rapat, iklan, operasional perkantoran lainnya, pemeliharaan gedung, peralatan kantor serta pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang dan/atau swakelola.
Selain itu, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya.
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Sandro Gatra
Minggu, 04 September 2016
Pemeteaan Partisipatif untuk mengurangi konflik pemilik tanah dan msy
Pemetaan Partisipatif
Pemetaan partisipatif adalah cara yang terbaik dalam mengurangi konflik perusahaan dengan masyarakat dan pemilik tanah adat atau lahan.
karena sudah banyak pelajaran yang di alami masysrakat di papua karea adanya konflik lahan.. dan banyak aktivitas atau lembaga NGO yang melakukan pemetaan partisipatif diana menghadirkan semua pemilik lahan dan ondoafi dalam memutuskan secara bersama apakah lahan ini bisa di gunakan pengusaha atau tidak..mari kita baca salah satu contoh di bawah ini :
Hal ini mengemuka dalam Journalist Class bertema “Pemetaan Partisipatif Kunci Penguatan Masyarakat Adat Papua”, di Jayapura, Papua, Kamis (23/10/14). Turut hadir sejumlah media nasional dan Papua, termasuk Mongabay.
Acara ini terselenggara kerjasama Yayasan Perspektif Baru (YPB), Samdhana Institute dan PT PPMA. Turut menjadi narasumber antara lain, Deny Rahadian, direktur eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), Laurens Lani; kepala bagian Registrasi Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua, Yulianus Keagop dan Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Zadrak Wamebu.
Deny Rahadian banyak menjelaskan definisi dan proses pemetaan, yang dimulai sosialisasi, lokakarya, pengambilan data di lapangan, proses pembuatan peta hingga digitasi. Hasilnya, dirembukkan dalam komunitas itu sebelum disahkan komunitas dan diajukan ke pemerintah. Lalu, diintegrasikan dengan kebijakan tata ruang pemerintah daerah.
Menurut Deny, peta ini alat membantu masyarakat menentukan ruang kelola berupa dokumentasi dan dokumen sosial.
“Ini harus mengingat selama ini budaya tutur kita sangat kuat, sementara budaya dokumentasi lemah,” katanya.
Pemetaan partisipatif, katanya, menjadi penting agar batas-batas wilayah adat dan perusahaan menjadi jelas. “Ini alat efektif menentukan batas wilayah dan pengorganisasian masyarakat. Bisa menjadi alat advokasi di daerah dan nasional.”
Menurut dia, ada tiga hal mengapa pemetaan partisipatif penting. Pertama, banyak konflik keruangan, penyerobotan lahan, tumpang tindih pengelolaan, konflik batas, konflik penguasaan dan pengaturan sumber daya alam.
Kedua, posisi tawar masyarakat lemah akibat tidak ada bukti tertulis wilayah kelola mereka. Ketiga, pelibatan masyarakat lemah dalam proses pembangunan.
Secara nasional, perkiraan luas indikatif wilayah adat mencapai 42 juta hektar, berdasarkan analisis spasial menggunakan Geografic Information System (GIS). Versi lain menggunakan metode groundcheck melalui FGD pada 13 DAS sekitar 40 juta hektar.
“Luasan indikatif menggunakan kedua pendekatan ini tidak jauh beda. Jumlah tak begitu jauh.”
Menurut dia, satu upaya mendukung proses pemetaan partisipatif melalui pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Ia dibentuk atas inisiasi sejumlah lembaga, antara lain JKPP, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan sejumlah lembaga lain.
“BRWA ini proses pengakuan melalui registrasi bersifat adhoc, hanya proses antara, sebelum pemerintah membentuk badan sendiri terkait ini.”
Deny menyinggung, menuju kebijakan satu peta (one map Indonesia), sebagaimana salah satu visi misi pemerintahan Jokowi. Selama ini, ada UU acuan dan memuat dasar IGT, yaitu UU Kehutanan, UU ESDM, UU Pemda, UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Selama ini, IGT yang tidak merujuk satu sumber peta dasar, hingga menimbulkan kesimpangsiuran, masing-masing dengan peta sendiri. “Ketika ditanyakan ke BIG bagaimana penyatuan, mereka selalu bilang bukan wewenang mereka.”
Papua, selama ini dianggap salah satu pelopor dalam pemetaan partisipatif, karena sejak 2002. Di Jayapura, kini terdapat sembilan komunitas adat sudah pemetaan wilayah dan kini proses pengakuan pemerintah daerah melalui SK Bupati.
Menurut Zadrak, pemetaan partisipatif penting karena keberadaan masyarakat hukum adat tidak begitu diakui dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengakuan masyarakat adat yang mempersyaratakan keberadaan dan pelaksanaan, katanya, kurang tepat.
Syarat keberadaan, misal, antara lain komunitas baru diakui bila ada sekelompok orang terikat oleh hukum adat dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada wilayah adat atau tanah dan terdapat aturan hukum penguasaan dan penggunaan tanah.
Syarat pelaksanaan, berlaku ketika eksistensi terpenuhi. Dalam pelaksanaan harus “sesuai kepentingan nasional dan negara”.
“Ini justru membingungkan dan memberi ruang kepada semua pihak menafsirkan sesuai kepentingan.”
Zadrak menilai, negara dapat mengizinkan BUMN maupun BUMS mengelola untuk mendatangkan keuntungan bagi negara. Masyarakat adat justru tidak mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi.
Dia menyoroti, kebijakan orda baru yang memperlakukan wilayah Papua sebagai daerah tak bertuan. Pemerintah menggunakan sejumlah UU sebagai acuan, seperti UU Agraria, UU Kehutanan dan UU yang terkait tambang minyak dan gas bumi.
Pemerintah mengelola kekayaan bumi dan air dalam skala besar dan merusak lingkungan serta mengganggu ekosistem. Masyarakat hanya dapat semacam dana kompensasi hak ulayat dengan nilai tidak sebanding.
Dampak lain, perubahan pola hidup masyarakat. Semula menggantungkan diri pada kekayaan alam sesuai kebutuhan.Kini, bahan konsumsi dari luar yang menggunakan uang. “Perusahaan pun tidak menggunakan tenaga kerja lokal karena tidak memenuhi standar kerja pengelola.”
PMAA, kata Zardak melakukan sejumlah pemetaan sosial di Jayapura dan sekitar, termasuk peta tematik. Salah satu di wilayah adat Namblong, dengan luas wilayah 45.000 hektar.
“Daerah lain masih draf antara lain di Kemtuik dan Sentani. Kemtuik finalisasi menunggu pengesahan, di Sentani masih draf awal. Ada juga komunitas Moi, kita sudah sosialisasi awal.”
Di Moi, Kampung Klayili, Sorong, Papua Barat, kini menghadapi konflik dengan PT Henrison Ini Persada (HIP). “Laporan Telapak dan Environmental Investigation Agency 2012 menemukan HIP memarjinalkan warga dengan membayar rendah lahan dan kayu masyarakat Moi. Saat ini masyarakat Moi berjuang melawan alih fungsi hutan ini.”
Pemetaan partisipatif diakui Direktur YBAW, Laurens Lani, merupakan pekerjaan tidak mudah. Medan pemetaan luas dengan kondisi geografi menantang, juga kendala resistensi dari sejumlah pihak yang terganggu dengan pemetaan.
“Saya pernah mendapatkan ancaman Bupati yang merasa terganggu karena mungkin di kawasan itu ada lahan usahanya.”
Tantangan lain, tuduhan menghasut masyarakat dan persoalan internal di masyarakat adat itu sendiri. “Misal, dualisme adat, antara dewan adat dengan lembaga masyarakat adat, membuat struktur adat tidak jelas.”
YBAW melakukan pendampingan pemetaan komunitas Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Tantangan, alam kawasan ini cukup berat karena di ketinggian antara 2.000-3.000 dpl, sebagian besar gunung dan lereng terjal.
Pemetaan partisipatif di Papua, khusus di Jayapura mendapat dukungan pemerintah daerah. Bupati Jayapura, Mathius Awoithuw, 13 Oktober 2014, di Grime, menandatangani peta wilayah adat Klesi-Kemtuik.
Mereka juga mendapat dukungan Kemitraan Institute dan Samdhana Institute. Samdhana juga mendorong pengakuan hukum peta yang dibuat masyarakat, dan membantu masyarakat mengembangkan kemampuan mengelola tanah masing-masing.
Pemetaan partisipatif adalah cara yang terbaik dalam mengurangi konflik perusahaan dengan masyarakat dan pemilik tanah adat atau lahan.
karena sudah banyak pelajaran yang di alami masysrakat di papua karea adanya konflik lahan.. dan banyak aktivitas atau lembaga NGO yang melakukan pemetaan partisipatif diana menghadirkan semua pemilik lahan dan ondoafi dalam memutuskan secara bersama apakah lahan ini bisa di gunakan pengusaha atau tidak..mari kita baca salah satu contoh di bawah ini :
Hal ini mengemuka dalam Journalist Class bertema “Pemetaan Partisipatif Kunci Penguatan Masyarakat Adat Papua”, di Jayapura, Papua, Kamis (23/10/14). Turut hadir sejumlah media nasional dan Papua, termasuk Mongabay.
Acara ini terselenggara kerjasama Yayasan Perspektif Baru (YPB), Samdhana Institute dan PT PPMA. Turut menjadi narasumber antara lain, Deny Rahadian, direktur eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), Laurens Lani; kepala bagian Registrasi Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua, Yulianus Keagop dan Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Zadrak Wamebu.
Deny Rahadian banyak menjelaskan definisi dan proses pemetaan, yang dimulai sosialisasi, lokakarya, pengambilan data di lapangan, proses pembuatan peta hingga digitasi. Hasilnya, dirembukkan dalam komunitas itu sebelum disahkan komunitas dan diajukan ke pemerintah. Lalu, diintegrasikan dengan kebijakan tata ruang pemerintah daerah.
Menurut Deny, peta ini alat membantu masyarakat menentukan ruang kelola berupa dokumentasi dan dokumen sosial.
“Ini harus mengingat selama ini budaya tutur kita sangat kuat, sementara budaya dokumentasi lemah,” katanya.
Pemetaan partisipatif, katanya, menjadi penting agar batas-batas wilayah adat dan perusahaan menjadi jelas. “Ini alat efektif menentukan batas wilayah dan pengorganisasian masyarakat. Bisa menjadi alat advokasi di daerah dan nasional.”
Menurut dia, ada tiga hal mengapa pemetaan partisipatif penting. Pertama, banyak konflik keruangan, penyerobotan lahan, tumpang tindih pengelolaan, konflik batas, konflik penguasaan dan pengaturan sumber daya alam.
Kedua, posisi tawar masyarakat lemah akibat tidak ada bukti tertulis wilayah kelola mereka. Ketiga, pelibatan masyarakat lemah dalam proses pembangunan.
Secara nasional, perkiraan luas indikatif wilayah adat mencapai 42 juta hektar, berdasarkan analisis spasial menggunakan Geografic Information System (GIS). Versi lain menggunakan metode groundcheck melalui FGD pada 13 DAS sekitar 40 juta hektar.
“Luasan indikatif menggunakan kedua pendekatan ini tidak jauh beda. Jumlah tak begitu jauh.”
Menurut dia, satu upaya mendukung proses pemetaan partisipatif melalui pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Ia dibentuk atas inisiasi sejumlah lembaga, antara lain JKPP, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan sejumlah lembaga lain.
“BRWA ini proses pengakuan melalui registrasi bersifat adhoc, hanya proses antara, sebelum pemerintah membentuk badan sendiri terkait ini.”
Deny menyinggung, menuju kebijakan satu peta (one map Indonesia), sebagaimana salah satu visi misi pemerintahan Jokowi. Selama ini, ada UU acuan dan memuat dasar IGT, yaitu UU Kehutanan, UU ESDM, UU Pemda, UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Selama ini, IGT yang tidak merujuk satu sumber peta dasar, hingga menimbulkan kesimpangsiuran, masing-masing dengan peta sendiri. “Ketika ditanyakan ke BIG bagaimana penyatuan, mereka selalu bilang bukan wewenang mereka.”
Papua, selama ini dianggap salah satu pelopor dalam pemetaan partisipatif, karena sejak 2002. Di Jayapura, kini terdapat sembilan komunitas adat sudah pemetaan wilayah dan kini proses pengakuan pemerintah daerah melalui SK Bupati.
Menurut Zadrak, pemetaan partisipatif penting karena keberadaan masyarakat hukum adat tidak begitu diakui dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengakuan masyarakat adat yang mempersyaratakan keberadaan dan pelaksanaan, katanya, kurang tepat.
Syarat keberadaan, misal, antara lain komunitas baru diakui bila ada sekelompok orang terikat oleh hukum adat dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada wilayah adat atau tanah dan terdapat aturan hukum penguasaan dan penggunaan tanah.
Syarat pelaksanaan, berlaku ketika eksistensi terpenuhi. Dalam pelaksanaan harus “sesuai kepentingan nasional dan negara”.
“Ini justru membingungkan dan memberi ruang kepada semua pihak menafsirkan sesuai kepentingan.”
Zadrak menilai, negara dapat mengizinkan BUMN maupun BUMS mengelola untuk mendatangkan keuntungan bagi negara. Masyarakat adat justru tidak mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi.
Dia menyoroti, kebijakan orda baru yang memperlakukan wilayah Papua sebagai daerah tak bertuan. Pemerintah menggunakan sejumlah UU sebagai acuan, seperti UU Agraria, UU Kehutanan dan UU yang terkait tambang minyak dan gas bumi.
Pemerintah mengelola kekayaan bumi dan air dalam skala besar dan merusak lingkungan serta mengganggu ekosistem. Masyarakat hanya dapat semacam dana kompensasi hak ulayat dengan nilai tidak sebanding.
Dampak lain, perubahan pola hidup masyarakat. Semula menggantungkan diri pada kekayaan alam sesuai kebutuhan.Kini, bahan konsumsi dari luar yang menggunakan uang. “Perusahaan pun tidak menggunakan tenaga kerja lokal karena tidak memenuhi standar kerja pengelola.”
PMAA, kata Zardak melakukan sejumlah pemetaan sosial di Jayapura dan sekitar, termasuk peta tematik. Salah satu di wilayah adat Namblong, dengan luas wilayah 45.000 hektar.
“Daerah lain masih draf antara lain di Kemtuik dan Sentani. Kemtuik finalisasi menunggu pengesahan, di Sentani masih draf awal. Ada juga komunitas Moi, kita sudah sosialisasi awal.”
Di Moi, Kampung Klayili, Sorong, Papua Barat, kini menghadapi konflik dengan PT Henrison Ini Persada (HIP). “Laporan Telapak dan Environmental Investigation Agency 2012 menemukan HIP memarjinalkan warga dengan membayar rendah lahan dan kayu masyarakat Moi. Saat ini masyarakat Moi berjuang melawan alih fungsi hutan ini.”
Pemetaan partisipatif diakui Direktur YBAW, Laurens Lani, merupakan pekerjaan tidak mudah. Medan pemetaan luas dengan kondisi geografi menantang, juga kendala resistensi dari sejumlah pihak yang terganggu dengan pemetaan.
“Saya pernah mendapatkan ancaman Bupati yang merasa terganggu karena mungkin di kawasan itu ada lahan usahanya.”
Tantangan lain, tuduhan menghasut masyarakat dan persoalan internal di masyarakat adat itu sendiri. “Misal, dualisme adat, antara dewan adat dengan lembaga masyarakat adat, membuat struktur adat tidak jelas.”
YBAW melakukan pendampingan pemetaan komunitas Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Tantangan, alam kawasan ini cukup berat karena di ketinggian antara 2.000-3.000 dpl, sebagian besar gunung dan lereng terjal.
Pemetaan partisipatif di Papua, khusus di Jayapura mendapat dukungan pemerintah daerah. Bupati Jayapura, Mathius Awoithuw, 13 Oktober 2014, di Grime, menandatangani peta wilayah adat Klesi-Kemtuik.
Mereka juga mendapat dukungan Kemitraan Institute dan Samdhana Institute. Samdhana juga mendorong pengakuan hukum peta yang dibuat masyarakat, dan membantu masyarakat mengembangkan kemampuan mengelola tanah masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)