Rabu, 02 November 2016
DEMO MAhasiswa Ambon Tentang GBU di Pulau Romang
Demo Mahasiswa Kembali Nyaris Bentrok tentang PT.GBU di pulau Romang
berita ini di lansir oleh Ambon eksprees tanggal 22 Oktober 2016
AMBON, AE.— Setelah diamuk polisi, kini elemen mahasiswa bersatu. Mereka menuntut pertanggungjawaban polisi terkait penganiayaan terhadap ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Ambon, Asrul Kaisuku. Wakil rakyat pun marah atas tindakan premanisme aparat kepolisian berseragam lengkap. Demo kemarin pun nyaris bentrok.
Tindakan polisi terhadap pembubaran massa yang menggelar demo sudah berulang kali terjadi. Tak hanya demo dua hari lalu, sebelumnya polisi juga kerap membubarkan paksa mahasiswa dan warga Romang yang berdemo menuntut Gubernur Maluku Said Assagaff mencabut ijin pertambangan PT GBU di Romang, Maluku Barat Daya.
Insiden penganiayaan terhadap Asrul terjadi dua hari lalu saat aksi mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yang berlangsung Gong perdamaian, dalam memperingati dua Tahun masa kerja pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla.
Mereka dibubarkan secara paksa. Polisi-pun menunjukan sikap arogansinya dengan membubarkan massa yang berjumlah sekitar 30 orang itu. Tidak hanya membubarkan polisi langsung menyeret ketua KAMMI, hingga pakaiannya sobek. Ini karena ijin aksi tidak dikantongi mahasiswa.
Informasi yang diperoleh koran ini menyebutkan pada Senin lalu, sejumlah perwakilan KAMMI menyampaikan surat pemberitahuan (bukan surat izin) kepada Polres Pulau Ambon. Namun petugas jaga meminta pihak KAMMI kembali memperbaiki suratnya.
Setelah dilakukan perbaikan sesuai permintaan pihak kepolisian, keesokan harinya surat dengan perubahan yang diinginkan kembali dimasukan ke Polres. Tapi anehnya tidak ada yang mau menerima surat pemberitahuan KAMMI terkait aksi. Rabu (19/10) pihak KAMMI kembali mendatangi Polres untuk menyampaikan surat itu, namun tetap saja ditolak dengan alasan deadline waktunya harus tiga hari sebelum aksi.
Hari Kamis kemarin, sesaat sebelum dilakukan aksi, sudah ada oknum polisi yang meminta agar aksi dihentikan. Jika tetap dilakukan maka akan dibubarkan dengan alasan aksi yang tidak memiliki izin.
Mendengar ancaman ini, Pihak KAMMI Kota Ambon dan Beberapa aktivis IMM merasa pada posisi benar. Sebab niat baik untuk memberitahukan aksi unjuk rasa sudah disampaikan.
Setelah adu mulut beberapa jam, sekitar pukul 11.00 WIT mendadak Ketua KAMMI diseret dari atas tribun Lapangan Merdeka. Ketua KAMMI sebelum ditarik dan diseret, dirinya bersama para pengunjuk rasa sudah bertekad menghentikan aksi.
Ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Mereka sendiri bahkan meminta agar perjalanan mereka ke kantor DPRD untuk audens tidak dihalau. Permintaan ini juga tidak diizinkan. Dan akhirnya terjadilah tindakan tersebut.
Akibat tindakan itu, Jumat sore kemarin, ratusan mahasiswa dari KAMMI dan IMM, kembali mendatangi Mapolda Maluku, dengan mendesak kapolda copot Kapolres serta kasat Intel dan Kasat Sabahara.
Ketegangan antar polisi dan mahasiswa juga sempat terjadi digerbang utama institusi itu. Tidak hanya tegang tiga orang mahasiswa pun ikut diseret paksa oleh polisi dan diamankan kedalam Mapolda Maluku. Mereka yang diamankan itu kordinator lapangan Edy Irsan Elis, Irul Marasabessy, Madina Rumodar. Selang beberapa saat ketiga orang itu kemudian dilepaskan, aksi tetap berjalan.
Anggota Komisi A DPRD Maluku Amir Rumra, mengatakan tindakan aparat keamanaan dinilai tidak manusiawi dan sudah bertentangan dengan UU penyampaian aspirasi di depan publik bagi setiap warga Negara Indonesia.
“Negara kita adalah negara hukum, jadi ada aturan yang membolehkan setiap warga Negara berhak menyampaikan aspirasinya di depan umum, selama itu tidak bertetangan dengan aturan. Namun yang dilakukan aparat kepolisian Polres Ambon, sangatlah tidak manusiawi,”sesal politisi asal PKS itu, kepada wartawan di kantor DPRD Jumat kemarin.
Alasannya tidak ada pemberitahuan sebelumnya oleh sekelompok mahasiswa, hingga aksi dapat dibubarkan harusnya dilakukan dengan cara yang elegan. Rumra berjanji akan mendalami insiden itu, hingga memanggil kapolda Maluku secara kelembagaan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya.
Mahasiswa juga mengancam jika Kapolda tidak segera menindaklanjuti dugaan tindak penganiayaan secara serius, mahasiswa akan melakukan aksi lebih besar lagi.
“Kami akan membangun konsolidasi terhadap seluruh OKP baik di Kota Ambon maupun skala nasional, perwakilan OKP Cipayung diseluruh wilayah NKRI, untuk melihat persoalan ini,”ancam mahasiswa.
LBH Lapor
Tak hanya DPRD dan mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemuda Maluku, juga turut menyayangkan tindakan polisi. “Kami akan mengumpulkan seluruh bukti-bukti terkait dugaan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum polisi itu, untuk selanjutnya kita laporkan secara resmi ke Propam Polri dan Kompolnas,” kata sekretaris LBH Pemuda Samuel Riry kepada koran ini terpisah.
Mereka juga akan melaporkan hal ini ke Komnas HAM dan Ombudsman RI. Polisi kata Riry, seharusnya tidak bertindak arogansi, karena mereka mitra bagi masyarakat.
Terpisah pihak kepolisian sendiri mengatakan, tindakan terhadap mahasiswa itu sebagai bentuk pembelaan diri, lantaran mahasiswa sendiri nekat merampas senjata api yang berada di tangan polisi.
“Kami hanya membela diri, karena mereka mau merampas senjata kami. Kami juga merasa terancam makanya kami langsung membubarkan aksi mereka,” kata sejumlah oknum anggota polisi di Mapolda Maluku kemarin.
Menanggapi hal itu, Riry mengaku, bila hal itu terjadi seharusnya polisi lebih mengutamakan langkah persuasif bukan langsung dengan cara kekerasan. (TIM)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar