Rabu, 19 Oktober 2016
Kebijakan Satu Peta Perlu Akomodasi Peta Partisipatif
Kebijakan Satu Peta Perlu Akomodasi Peta Partisipatif
Pemberian konsesi lahan kepada perusahaan sering menimbulkan konflik sosial karena di atas lahan itu ada hak masyarakat hukum adat. Apalagi sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan hutan adat dari hutan negara.
Deputi Bidang Operasional BP REDD+, William Sabandar, mengakui selama ini pemerintah cenderung absen dalam melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Untuk mengembalikan kehadirannya pemerintah menggulirkan kebijakan satu peta atau one map policy. Artinya, ada satu peta yang digunakan sebagai acuan oleh semua lembaga pemerintahan sebelum menerbitkan izin atau konsesi lahan.
Dikatakan William, kebijakan satu peta itu harus mampu mengakomodasi pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarkat terhadap daerahnya. Setelah berkunjung ke beberapa daerah, termasuk Papua, William menjumpai masyarakat hukum adat kebingungan setelah membuat peta. Mereka tidak tahu peta itu dilaporkan kemana agar wilayah adat mereka tidak diambil alih perusahaan.
William melihat sampai sekarang belum ada aturan yang dapat memberi payung hukum terhadap peta partisipatif yang dibuat masyarakat. “Lalu bagaimana mengintegrasikan peta partisipatif itu dalam kebijakan satu peta. Itu penting sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat,” katanya dalam jumpa pers yang diselenggarakan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) di Jakarta, Rabu (12/10).
William berpendapat harus ada lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengakomodasi pemetaan partisipatif itu. Sehingga lembaga tersebut dapat menjadi mitra Badan Informasi Geospasial (BIG). Mengacu UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, BIG berwenang mengintegrasikan berbagai peta dalam kebijakan satu peta. “Harus diputuskan siapa yang bertanggung jawab mengurusi peta partisipatif itu apakah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” tukasnya.
Deputi III Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Arifin Saleh, mengatakan tren pengakuan terhadap masyarakat hukum adat semakin menguat. Itu dapat dilihat sejak terbitnya putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang pengukuhan hutan adat. Selain itu RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pernah dibahas di DPR.
Dalam rangka penguatan masyarakat hukum adat, Arifin mengatakan AMAN sempat diminta masukannya oleh Tim Transisi Jokowi-JK soal prioritas program kerja pemerintah dalam setahun. AMAN mengusulkan dalam setahun pemerintah harus mengakomodasi minimal seribu peta partisipatif masyarakat dan meregistrasinya. “Peta partisipatif itu penting untuk mengurangi konflik yang kerap terjadi di wilayah masyarakat hukum adat,” urainya.
Koordinator Nasional JKPP, Deny Rahadian, mengatakan kebijakan satu peta sering disebut sebagai cara untuk mengatasi konflik agraria dan tenorial. Sekarang, ada 5,2 juta hektar wilayah masyarakat adat yang sudah dipetakan. Sayangnya, peta itu belum dapat dimasukan dalam kebijakan satu peta oleh BIG karena masalah standar pemetaan. Padahal, masyarakat hukum adat lebih tahu mana saja yang menjadi wilayah mereka.
Walau begitu Deny mengapresiasi BIG yang menyiapkan infrastruktur, sistem dan standarisasi dalam rangka melaksanakan kebijakan satu peta. Standar Operasi Prosedur (SOP) pemetaan partisipatif juga sudah diterbitkan. Bahkan proses pembentukan SOP itu melibatkan organisasi masyarakat sipil termasuk JKPP, akademisi dan peneliti.
Tapi, Deny menyorot ada perbedaan persepsi antara SOP pemetaan partisipatif yang dibentuk BIG itu dengan harapan organisasi masyarakat sipil. Sebab, SOP itu tidak memasukkan hak-hak masyarakat hukum adat/lokal. Padahal, hak-hak itu layak untuk diperhatikan.
Dari diskusi organisasi masyarakat sipil dengan berbagai lembaga pemerintah seperti BIG, UKP4, Kemenhut dan BPN dihasilkan rekomendasi agar organisasi masyarakat sipil membuat SOP pemetaan partisipatif. Lewat berbagai organisasi yang tergabung dalam JKPP, SOP itu telah dibentuk. Kemudian diharapkan SOP itu mendapat sertifikasi SNI dari Badan Standarisasi Nasional (BSN).
“Kami harap pemetaan partisipatif yang telah dilakukan masyarakat dengan mengikuti SOP tersebut dapat diakui. Lalu diintegrasikan dalam kebijakan satu peta,” usul Deny.
Setelah peta partisipatif itu masuk dalam kebijakan satu peta, Deny menginginkan agar tidak ada lagi tumpang tindih penguasaan lahan dan ruang. Jika masih ada persoalan maka pemerintah bertanggungjawab untuk menyelesaikannya.
SOP pemetaan partisipatif dari masyarakat sipil menurut Deny tidak hanya berisi rincian bagaimana membuat peta partisipatif, tetapi juga menekankan keterkaitan wilayah yang dipetakan dengan hak-hak yang dimiliki masyarakat lokal yang menempatinya. “Masyarakat adat sebagai pelaku utama karena mereka yang mengerti wilayahnya,” paparnya.
Namun Deny menyebut SOP pemetaan partisipatif bentukan organisasi masyarakat sipil itu harus melewati sejumlah proses sebelum mendapat sertifikasi SNI. Diantaranya, harus melakukan konsultasi publik dan melibatkan pakar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar