Kamis, 29 September 2016

Kepulauan di Maluku Tenggara Barat (Atubul-Da), Pulau Romang , dan Pulau Haruku

Kepulauan Di Kabupaten MTB (Atubul-da) Kepulauana MTB menyimpan banyak keindahan sumberdaya alam , terdapat sumberdaya alam hutan dan laut. Memang kepualauan ini jarang di kenal dan diketahui oleh banyak orang kecuali yang sudah pernah kesana . Apabila mau melakukan diving di pulau ini sangat baik sekali..dan juga di daerah kampung Atubul-da terdapat dua pulau besar di tenagh laut yaitu pulau New Smesh dan kore. Dimana di pulau tersebut terdapat jenis ketam kenari yang di lindungi . daerah ini memang terkesan dan masih memiliki tatanan adat yang kuat sehingga memerlukan proses - proses adat yang harus di taati bagi orang yang baru mengungjungi..bisa dilihat di bawah ini gambar pantai dan kedua pulau tersebut : Kepulauan Romang terdapat Kampung Hila kepulauan Romangterdapat di daerah kabupaten baru yaitu MBD (Maluku Tenggara barat), pulau ini biasa di sebut dengan nama lain Riomna Wiyatna..dengan luas kecamatan 1.129,6 km 2. Wilayah kampung hila ini berbukit ,dan untuk kampung yang tua adalah jerusu.. dan kampung yang baru adalah solath dan satu dusun yaitu Oirelili.. Kepulauan Haruku Maluku tengah Propinsi Maluku Di antara semua jenis dan bentuk sasi di Haruku, yang paling menarik dan paling unik atau khas desa ini adalah sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil). Jenis sasi ini dikatakan khas Haruku, karena memang tidak terdapat di tempat lain di seluruh Maluku. Lebih unik lagi karena sasi ini sekaligus merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali. Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang, mirip perangai ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kuranglebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Yang menakjubkan adalah bahwa kali Learisa Kayeli yang menjadi tempat hidup dan istirahat mereka sepanjang siang hari, menurut penelitian Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon, ternyata sangat miskin unsur-unsur plankton sebagai makanan utama ikan-ikan. Walhasil, tetap menjadi pertanyaan sampai sekarang: dimana sebenarnya ikan lompa ini bertelur untuk melahirkan generasi baru mereka?

Minggu, 18 September 2016

Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal ini adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaksanakan PRBBK dengan mengembangkan program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana). Program Destana dari tahun 2012 s/d 2015 mencapai 266 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Dalam tahun 2016, rencananya BNPB akan mengembangkan Destana ke 100 desa/kelurahan lagi.1 Sebagai rujukan dalam mengimplementasikan program Destana adalah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Perka BNPB No. 1/2012). Peraturan ini ditetapkan oleh Kepala BNPB, Syamsul Maarif pada tanggal 10 Januari 2012 di Jakarta. Tujuan Perka BNPB No. 1/2012 adalah untuk: Memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam pengembangan Destana sebagai bagian upaya PRBBK. Memberikan acuan pelaksanaan pengembangan Destana bagi aparatur pelaksana dan pemangku kepentingan pengurangan risiko bencana (PRB). Ruang lingkup pedoman ini berlaku untuk pengembangan desa/kelurahan tangguh di kabupaten/kota yang rawan bencana. Pedoman juga dapat digunakan sebagai acuan dalam memasukkan unsur-unsur PRB ke dalam program-program lain di tingkat desa/kelurahan, yang dilakukan oleh pemerintah maupun mitra-mitra non-pemerintah. Isi peraturan ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu batang tubuh Perka BNPB No. 1/2012 (3 pasal dan 3 halaman) dan lampiran pedoman (41 halaman). Substansi isi peraturan terdapat dalam lampiran pedoman tersebut. Struktur isi pedoman dalam Perka BNPB No. 1/2012 antara lain: Bab I Pendahuluan (Latar Belakang; Tujuan; Landasan Hukum; Ketentuan Umum; Ruang Lingkup dan Sistematika) Bab II Kebijakan dan Strategi (Kebijakan; Strategi). Bab III Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Prinsip-prinsip; Kriteria Umum; Peran Pemerintah di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Bab IV Kegiatan dalam Rangka Mengembangkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Pengkajian Risiko Desa/Kelurahan; Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan; Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan; Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB; Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa/Kelurahan dan Legalisasi; Pelaksanaan PRB di Desa/Kelurahan; Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Program di tingkat Desa/Kelurahan). Bab V Penutup. Lampiran. Hal-hal dasar dalam peraturan ini menyangkut pengertian masyarakat, desa/kelurahan, dan desa/kelurahan tangguh bencana. Disini masyarakat atau komunitas dimaknai sebagai kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di daerah tertentu, yang dapat memiliki ikatan hukum dan solidaritas yang kuat karena memiliki satu atau dua kesamaan tujuan, lokalitas atau kebutuhan bersama; misalnya, tinggal di lingkungan yang sama-sama terpapar pada risiko bahaya yang serupa, atau sama-sama telah terkena bencana, yang pada akhirnya mempunyai kekhawatiran dan harapan yang sama tentang risiko bencana. Sementara itu pengertian desa mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004). Pengertian desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan pengertian kelurahan adalah sebuah unit administrasi pemerintah di bawah kecamatan yang berada dalam sebuah kota. Kelurahan setara dengan desa, yang merupakan bagian dari kecamatan yang berada di kabupaten, tetapi kelurahan hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan tidak memiliki otonomi luas seperti yang dimiliki sebuah desa. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana. Dalam Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan. Tujuan khusus pengembangan Destana ini adalah: Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana. Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi PRB. Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi PRB. Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli. Komponen-komponen Destana antara lain: (1) Legislasi, (2) Perencanaan, (3) Kelembagaan, (4) Pendanaan, (5) Pengembangan kapasitas, dan (6) Penyelenggaraan PB. Strategi untuk mewujudkan Destana antara lain meliputi: Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial dan keyakinan, termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke dalam program. Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum mungkin. Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian/lembaga atau K/L, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan tinggi) untuk memberdayakan masyarakat desa/kelurahan. Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi ancaman di desa/kelurahan mereka dan akan kerentanan warga. Pengurangan kerentanan masyarakat desa/kelurahan untuk mengurangi risiko bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan beradaptasi dengan risiko bencana. Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko. Pemaduan upaya-upaya PRB ke dalam pembangunan demi keberlanjutan program. Pengarusutamaan PRB ke dalam perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial desa/kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat masyarakat. Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subyek yang berpartisipasi dan bukan obyek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Masyarakat yang sudah mencapai tingkat ketangguhan terhadap bencana akan mampu mempertahankan struktur dan fungsi mereka sampai tingkat tertentu bila terkena bencana. Program Destana dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: (1) Bencana adalah urusan bersama, (2) Berbasis PRB, (3) Pemenuhan hak masyarakat, (4) Masyarakat menjadi pelaku utama, (5) Dilakukan secara partisipatoris, (6) Mobilisasi sumber daya lokal, (7) Inklusif, (8) Berlandaskan kemanusiaan, (9) Keadilan dan kesetaraan gender, (10) Keberpihakan pada kelompok rentan, (11) Transparansi dan akuntabilitas, (12) Kemitraan, (13) Multi ancaman, (14) Otonomi dan desentralisasi pemerintahan, (15) Pemaduan ke dalam pembangunan berkelanjutan, dan (16) Diselenggarakan secara lintas sektor. Tingkat ketangguhan sebuah desa/kelurahan dalam menghadapi bencana dibagi kedalam tiga kriteria, yaitu: Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60). Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50). Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35). Ketiga kriteria Destana itu diperoleh dari pengisian kuisoner yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait aspek dan indikator Destana. Kuesioner ini terdiri dari 60 butir pertanyaan yang dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek ketangguhan dan isu-isu terkait kebencanaan lainnya. Pertanyaan disusun dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ dan setiap jawaban ‘Ya’ akan diberi skor 1, sementara jawaban ‘Tidak’ akan diberi skor 0. Indikator-indikator dalam ketiga kriteria Destana antara lain: 1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama, dengan indikator sebagai berikut: a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan. b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan dirinci ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). c. Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif. d. Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan. f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana. 2. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya, dengan indikator sebagai berikut: a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa/kelurahan. b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa. c. Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif. d. Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif. e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji. f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis. 5 3. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama, dengan indikator sebagai berikut: a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa/kelurahan. b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB. c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat. d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Tim Relawan PB Desa/Kelurahan. e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan. f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengimplementasikan Destana antara lain: 1. Pengkajian risiko desa/kelurahan (menilai ancaman, menilai kerentanan, menilai kapasitas, menganalisis risiko bencana). 2. Perencanaan PB dan perencanaan kontinjensi desa/kelurahan (RPB Desa/Kelurahan dan Renkon Desa/Kelurahan). 3. Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan. 4. Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB. 5. Pemaduan PRB ke dalam rencana pembangunan desa/kelurahan dan legalisasi. 6. Pelaksanaan PRB di desa/kelurahan 7. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan program di tingkat desa/kelurahan Pada akhir program Destana perlu dilakukan evaluasi guna menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah program telah memberikan kontribusi untuk pengurangan risiko? 2. Apakah program telah berkontribusi pada mitigasi ancaman? 3. Apakah program dapat menghilangkan atau mengurangi kerentanan dan mengembangkan kapasitas/kemampuan warga masyarakat maupun aparat pemerintah di berbagai tingkat? 4. Apakah program berhasil memobilisasikan sumber daya setempat untuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana? 5. Apakah ada komitmen dari pemerintah desa, kelurahan, kabupaten, kota dan provinsi dalam keberlanjutan program? --- dp --- ------------------------------- Djuni Pristiyanto Penulis di Bidang Kebencanaan dan Lingkungan, Fasilitator LG-SAT dan Kota Tangguh Bencana, Moderator Milis Bencana (https://groups.google.com/group/bencana) dan Milis Lingkungan (http://asia.groups.yahoo.com/group/lingkungan). Email: djunister@gmail.com.

Hasil kajian Risiko bencana dan SOP di wilayah Nabire -Papua

Hasil Kajian Risiko bencana yang di Lakukan Di Papua , hal ini harus belajar dan belajar dari dari lainnya karena berbicara bencana akan terkait dengan sumberdaya manusia yang ada , dimana sumberdaya manusia sangat di perlukan dalam tanggap darurat ketika terjadi bencana. dan ini sudah di suarakan secara naasional dan international melakukan pernjajian Kyoto di jepanag maka terbangunlah BNPB di Indoensia. dan di daerah daerah di bangunnya BPBD sesuai UU kebencanaan no .24 tahaun 2007 dan di kampung kampung atau desa juga harus berbicara kebencanaan dalam perka BNPB No 1 tahun 2012. demikian kegiatan di bawah ini : Lampiran 2 Transek kampong Waroki Lampiran 2. PETA TRANSEK Tata guna lahan Pemukiman Sungai Pantai Laut Tambak Infrastruktur Kebun Status Warga Negara Warga Negara Warga Negara Warga Potensi Sebagian warga memiliki sumur yang airnya jenih, sebagian warga berdagang mandi, cuci, kakus, sumber mata pencaharian sekunder Ikan, udang, kepiting Ikan, udang, kepiting Ikan, udang, kepiting Layanan kesehatan, jalan raya, sekolah, tempat ibadah, pasar Pohon Nira (produksi bobo) Vegetasi Air minum- air hujan Pohon rambutan, Mangga, singkong, pepaya, kelapa Pohon Nira Pohon kelapa Pohon Nira Hewan/binatang ternak Sapi, bebek, anjing, ayam Bia, ikan, Kepiting Ikan, udang Ikan, udang Ikan, udang Hama/Penyakit Malaria, Diare, ISPA, Kurang gizi, penyakit kulit, bisul, serangga tanaman,Penyakit ayam, dan anjing Ancaman Banjir Banjir Abrasi, Gelombang pasang Tsunami banjir, tsunami tsunami banjir, tsunami Lampiran 2. Hasil PRA Kampung Waroki Sejarah Kampung Thn Perubahan 1984 Terbentuknya kampung dari marga dari waropen dan raiki dan masuk dalam kalibobo (RT 07) 1992 Berubahnya nama menjadi waroki pada saat turunnya gubernur. Kampung Defenitif. 1992 terjadinya kebakaran kerugiannya beberapa rumah masyarakat terbakar. 2003 Tsunami terjadi dan rumah roboh, terendam banjir, perahu hanyut dan terjadi jam 12 malam. 2004 Gempa terjadi dan rumah roboh, kerugiannya banyak. 2005 Banjir terjadi , tidak ada kerugian. 2010 Banjir terjadi, kerugian rumah terendam, kolam terendam air , ternak hanyut, dan anak-anak sakit diare. Hubungan Kelembagaan : Identifikasi kelembagaan ; Hubungan Kelembagaan Distrik Aparat kampung : Sangat membantu msy jika mendapatkan masalah. Pemerintah kampung PW : Posisi membantu msy dalam kesusahan , sakit. Pustu (kader kampung) PKB : membantu msy dalam kesusahan, sakit. Tagana (Dinsos) Kelompok Tani binaan dinas pertanian, dinas perkebunan. PKB PKK : lembaga perempuan di kampung PW Kader kampung : terdiri dari kesehatan, PCI. Posyandu Tagana : Tim bencana dari Dinsos. Dukun kampung PPL : pendamping masyarakat dari dinas pertanian dan perkebunan dinas perikanan Karang taruna : lembaga pemuda Dinas Perkebunan Dinas perikanan Dinas Pertanian PCI : NGO kesehatan Karang Taruna Peta Kebun Peta kampong waroki Lampiran 5 . Diskusi Kelompok mengenai Peta Ancaman Kelompok 1: Ancaman Kerentanan/Kelemahan Kapasitas/Kemampuan Gempa - Lokasi di tektonik aktif - Struktur bangunan tidak tahan gempa - Kurangnya pengetahuan masyarakat ttg gempa - Bangunan rumah tahan gempa - Kemampuan masyarakat pada pengurangan risiko Banjir - Masyarakat bermukim/berada di daerah aliran sungai - Adanya pembalakan hutan - Mobilisasi ke tempat lebih aman - Penghijauan kembali - Peningkatan pemahaman masy ttg banjir Abrasi - Kurangnya kesadaran masyarakat ttg fungsi hutan bakau - Bakau dimanfaatkan sebagai kayu bakar - Alih fungsi pantai sebagai pemukiman dan industri - Budidaya bakau - Membentuk kelompok peduli bencana Kelompok 2: Ancaman Kerentanan/Kelemahan Kapasitas/Kemampuan Konflik Keragama suku Budaya berbeda Isu-isu Aturan/tradisi Ada polisi Ada kepala suku Ada bupati Ada tokoh masyarakat di setiap suku Kebakaran Ceroboh Buang puntung rokok sembarangan Pembukaan lahan Ada pemadam kebakaran Ada PPL Pertanian Longsor Penebangan liar Pendulangan liar Pembalakan hutan Reboisasi Aturan pelarangan pembalakan liar Kelompok 3: Ancaman Kerentanan/Kelemahan Kapasitas/Kemampuan Wabah Kurangnya informasi masy ttg kesehatan Layanan kesehatan tidak mudah diakses Ada layanan kesehatan di tiap kampung Kekeringan Kelaparan Adanya persediaan bahan pangan Pembangunan saluran irigasi Tsunami Permukiman di dataran rendah Mobilisasi pindah ke tempat lebih aman Hasil Diskusi Kelompok Asset Penghidupan dan Bencana Nabire Kelompok 1 Ancaman Gempa Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Meninggal Luka-luka Mengungsi Keluarga Terputusnya Komunikasi Tetangga Konflik bantuan Bukit Longsor Air Sumur Keruh Kebun Rusak/gagal panen Pasar Mekanisme pasar tidak berjalan normal Ternak (…ekor) Mati, hilang Tabungan Tidak dapat akses Jalan (…km) Rusak Jembatan (….unit) Putus Rumah (….unit) Rusak Kelompok 2 Ancaman Banjir Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Meninggal Luka-luka Mengungsi Keluarga/kerabat Terputusnya Komunikasi Air Sumur Keruh Bukit Longsor Ternak Mati/Hilang Jembatan Rumah Jalan Gangguan Keamanan Pencurian, penjarahan, perdagangan manusia. Kelompok 3 Ancaman Tsunami Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Meninggal Luka-luka Mengungsi Rumah Hancur/hilang Rusak Jalan Rusak Jembatan Rusak Harta benda Rusak/hilang Kebijakan Perubahan Kebijakan Garis Pantai Berubahnya garis pantai Sungai Terjadinya pelebaran Kebun (…Ha) Rusak/gagal panen Tidak bias di Tanami Keluarga Hilang/meninggal dunia Sakit Sumur Tertimbun/kotor/tercemar Kelompok 4 Ancaman Konflik Asset Berisiko Bentuk Risiko Pada Asset Manusia Sakit/berpindah Nyawa Meninggal Kesehatan Gangguan Kesehatan fisik/psikologis Keuangan Tidak ada penghasilan Harta benda Rusak/Hilang Rumah Hancur Kendaraan Rusak Kebun Rusak Ternak Mati/hilang Buku Tabungan Hilang / di curi Jembatan Putus Jalan Diblokir/Palang Pasar/Toko Libur Kantor Pemerintah Tutup Rusak Keamanan Gangguan Keamanan Lampiran 4. SOP Kampung Ancaman: Banjir No Siapa/Kapan Apa SEBELUM 1 Kepala kampung Melakukan sosialisasi 2 TBK: Koordinator umum Menjalin kerjasama yang baik dengan anggota tim dan pihak luar (pemerintah) Disetiap tahap penanggulangan bencana bertanggung jawab atas seluruh kegiatan tim siaga bencana Seksi P3K dan Evakuasi Melatih diri dalam pertolongan pertama Menjalain hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga kesehatan Seksi perlengkapan dapur umum Menyiapakan dan memelihara peralatan dapur umum Peringatan dini Mengenali tanda awal ancaman Membangun jaringan komunikasi yang baik Mencatat dan menyimpan semua no-no penting Mis: No kantor BPBD, Seksi Transportasi Menyiapkan spit untuk evakuasi korban dengan luka yang berat Ex: patah tulang Seksi Logistik Mentukan tempat penyimpanan barang Mencari tahu sumber bantuan yang bisa diperoleh 3 Mantri Menyiapakan obat-obatan yang dibutuhkan pada saat terjadi bencana 4 Masyarakat Mengetahui tempat Evakuasi 5 Tagana Mengidentifikasi ancaman yang ada di setiap desa SAAT 1 Kepala kampung Mengkordinir semua data-data korban meninggal..orang, ternak mati…ekor, luka-luka….orang, Sebagai juru bicara pada saat badan pemerintahan turun ke kampung 2 TBK: Koordinator umum Penampung masalah dengan anggota tim dan pihak lainnya berupa mencarikan solusi yang tepat Seksi P3K dan Evakuasi P3K: Menilai kondisi korban dan melakukan P3K Membuat laporan Evakuasi: Mengawasi proses pengungsian Seksi perlengkapan dapur umum Menyediakan bahan makanan Peringatan dini Memantau perkembangan bencana Seksi transportasi Mengevakuasi warga ke tempat yang aman Seksi logistik Membagikan bama kepada masyarakat 3 Mantri/ bidan Memberikan obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat Merawat korban 4 Masyarakat Mengungsi di tempat evakuasi yang sudah ditentukan 5 Tagana DistribUsi logistik SESUDAH 1 Kepala kampung Melaporkan kepada pemerintah (BPBD) meninggal…orang, rumah rusak….unit, ternak mati…ekor 2 TBK: Koordinator umum Mendata kerugian akibat bencana dan melaporkan kepada kepala kampung Seksi P3K dan evakuasi P3K: Memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat Evakuasi: Memelihara sarana evakuasi (kebersihan, sampah) Seksi perlengkapan dapur umum Menyediakan makanan dan minuman bagi orang yang membutuhkan Peringatan dini Menentukan pemulihan Menganalisa kerusakan akibat bencana Seksi transportasi Mengembalikan korban ke kampung Seksi logistik Menyalurkan bantuan 3 Mantri/bidan Merawat korban dan memberikan obat 4 Masyarakat Mengikuti petunjuk tim Siaga Bencana ataukah mereka masih tinggal di tempat tersebut 5 Tagana Mendata korban yang sudah mendapatkan bantuan dan melaporkan kepada kepala kampung Prinsip dari SOP: Harus mudah dipahami dan masuk akal untuk dijalankan Lampiran 4. RANCANGAN SOP UNTUK ANCAMAN BANJIR KAPAN SEBELUM SAAT SESUDAH SIAPA BPBD • Membuat peta ancaman dan risiko • Merumuskan rencana aksi daerah berkenaan dgn ancaman banjir • Membentuk tim reaksi cepat untuk menanggulangi bencana dari semua intansi dan ormas yang ada di kab. Nabire • Mengkaji kerugian, kerusakan, sumber daya dan lokasi terjadinya ancaman • Menentukan status keadaan darurat (bencana) berdasarkan dampak ancaman • Mengakomodir semua instansi dalam pemberian bantuan dan evakuasi korban • Mengkoordinasikan semua data korban dan kerugian akibat bencana dari tiap instansi dan melaporkannya kpd BNPB Dinas Kesejahteraan Sosial • Memastikan persediaan bantuan bencana cukup untuk satu periode (3 bln) • Menyelenggarakan pelatihan tanggap banjir bagi Tagana dan sistim peringatan diri utk ancaman banjir • Menyalurkan bantuan bahan makanan pokok kepada BPBD dan pendistribusian kepada korban banjir • Mengkaji kerusakan, kerugian dan dampak sosial yg ditimbulkan oleh bencana • Memberikan perhatian dan perlindungan yang lebih thd kelompok rentan (balita, anak2, bumil, lansia, perempuan) Dinas Kesehatan • Menyediakan stok obat-obatan yg cukup untuk bencana • Mengadakan mobile clinic untuk korban bencana • Pendistribusian obat-obatan yang diperlukan kepada korban • Merawat korban bencana yang sakit Dinas Kehutanan • Sosialisasi dampak pembalakan hutan atau penebangan liar • Sosialisasi aksi penanaman pohon kembali (reboisasi) • Dinas PU • Normalisasi Kali dan Sungai Memulihkan sarana transportasi darat yang rusak akibat bencana LANGKAH-LANGKAH FASILITASI MANAJEMEN KEDARURATAN • Introduction : KOMPAK, tiap SKPD • Identifikasi masalah yang dihadapi tiap SKPD berkenaan dgn bencana banjir • Tanya jawab • Curah pendapat • Diskusi • Opini-opini • Pemaparan tupoksi dari tiap SKPD berkenaan dgn bencana banjir • Pemetaan aktor dan peran • Komitmen dan tanggung jawab tiap SKPD

Latihan Sumberdaya Manusia Ibu-Ibu Di Papua-Biak

Pelatihan sumberdaya ibu -ibu di Papua merupakan program untuk meningkatkan kemandirian ekonomi rumah tangga ..dan pelatihan ini merupakan dasar untuk meningkatkan ekonomi mikro . dimana setelah pelatihan ini akan bekerjasama dengan perbankan dan pemerinatah provinsi Papua. bisa di simak bagaimana proses pelatihan di bawah ini :
Partisipasi peserta dalam belajar usaha ekonomi

MEMBANGUN JEJARING USAHA

MEMBANGUN JEJARING USAHA Oleh Blasius Jabarmase Pelatihan untuk kewirausahaan Ibu-Ibu yang memiliki potensi ekonomi, sbb : KONSEP DASAR MEMILIKI KELOMPOK DALAM USAHA SALING MENGUNTUNGKAN. MEMILIKI RENCANA USAHA YANG BENAR DAN KONSISTEN BERPIKIRAN MAJU DALAM BERUSAHA. BAGAIMANA KALAU TIDAK PUNYA KELOMPOK ? HARUS MENCARI MITRA KERJA USAHA YANG SEHAT. Contoh : KALAU BANGUN KIOSK UNTUK USAHA PASTI KITA BUTUH SAUDARA KITA UNTUK MEMBANTU CARI BATU TELA, KAYU, DAN PASIR ? SETELAH ITU KITA AKAN CARI GROSIR SEBGAI MITRA KITA UNTUK MENGISI BARANG KIOSK ? PASTI KITA JUGA BUTUH TEMAN UNTUK MENGHITUNG HARGA BARANG ? SEANDAINYA TIDAK ADA GROSIR YANG MENYEDIAKAN HARGA BRG MURAH ? APA YG TERJADI ? DAN JUGA KALAU TARA ADA PASIR, BATU TELA, DAN KAYU APAKAH KIOSK BERDIRI ? ILMU JARING PAKAI ILMU JARING : KALAU IKATAN KUAT PASTI IKAN YANG DI TANGKAP TIDAK AKAN LEPAS. DAN SEMAKIN LUAS JARING PASTI YANG DI DAPAT JUGA BANYAK . DAN KALAU USAHA MAU BERKEMBANG DAN MAJU DAN KUAT HARUS MEMBANGUN MITRA KERJA SELUAS MUNGKIN. LATIHAN: MINTA PESERTA MENCERITAKAN MEMBANGUN MITRA USAHA DENGAN KELOMPOK ATAU PEMERINTAH ATAU NGO ? DISKUSI KELOMPOK BENTUK SUATU USAHA /KELOMPOK? TULIS NAMA USAHA ? TULIS ORGANISASI USAHA ? MODALNYA BERAPA ? DEFENISI : MITRA USAHA YAITU MITRA SEJAJAR, TIDAK ADA YANG LEBIH DALAM BERUSAHA, MELAINKAN SALING MENUNJANG. KENAPA PENTING ? DAN SIAPA MITRA KITA ? PENTING KRN : BISA MEMBANTU PADA SAAT TIDAK ADA MODAL ? MEMPERMUDAH BISNIS ATAU USAHA ? PENINGKATAN KAPASITAS USAHA ? PERUBAHAN POLA PIKIR USAHA ? MEMAJUKAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DI TEMPAT LAIN. SATU TUJUAN. MITRA KITA ADALAH : PEMERINTAH KAMPUNG, DISTRIK , KABUPATEN, DAN PROVINSI. LKMK, LKMD. NGO Lokal dan International. Universitas PERBANKAN DUNIA USAHA LAINNYA. Apabila ada pertanyaan bisa tulis di blog ini > Terimakasih.

Rabu, 14 September 2016

AMBON DISASTER RESPONSE EXERCISE (DiREX) 2016

Provinsi Maluku merupakan rawan bencana gempa bumi , banjir , dan juga Tsunami. Melalui Joint Paper “ASEAN Community in a Global Community of Nations” Indonesian-Australian Paper: A Practical Approach to Enhance Regional Cooperation on Disaster Rapid Response Introduction: Natural Disasters a Constant Threat 1. Natural disasters continue to cause loss of life, properties and livelihoods in the region and impede sustainable development. Recent disasters such as earthquakes and tsunami, floods and volcanic eruptions, are a reminder that the region remains prone to disasters that have long-term negative social, economic and environmental consequences. 2.Disaster management and response is a key priority for the East Asia Summit (EAS). This is clearly articulated in the 2009 Cha-am Hua Hin Statement on Disaster Management. Natural disasters have a profound human and economic cost for the countries in our region. Large populations are vulnerable to flooding, earthquakes or volcanic activity. Much of the region is prone to extreme weather events, including tropical cyclones, storm surges and forest fires. 3. E AS participating countries accounted for eight of the world’s ten deadliest disasters in 2009 and five of the ten in 2010. Smaller scale natural disasters resulted in scores of deaths and extensive damage to infrastructure, property and livelihoods, with developing countries bearing the bulk of the burden. 4. According to the UN’s Asia - Pacific Disaster Report 2010, the number of disaster events reported globally increased from 1,690 to 3,886 between 1980 - 1989 and 1999 - 2009. Over the whole period 1980 - 2009, 4 5 per cent of these were in Asia and the Pacific. a.The 2004 Indian Ocean tsunami cost the lives of over 250,000 people in the region, with 45.6 million people affected by the disaster. 2 b. The 2008 earthquake in Sichuan, China, cost the lives of more than 69,000 people and caused US$85 billion damage. c. The 2009 earthquake in Padang, West Sumatra, cost the lives of 1,100 people and caused the destruction of more than 300,000 buildings. d. The estimated cost of reconstruction after the recent earthquakes in New Zealand’s Canterbury region is around US$12 billion, 7.5 per cent of national GDP. e. In Japan, in addition to the tragic deaths of more than 15,000 people, estimates put direct losses from damage to housing, infrastructure and business caused by t he 2011 earthquake and tsunami at up to US$300 billion, making it the costliest disaster on record. The increase in reported incidents could be related to many factors including increasing population exposed to hazards and improvements in reporting and collection of disaster data ( http://www.unescap.org/idd/pubs/Asia - Pacific - Disaster - Report - 2010.pdf ). Responding to disasters on this scale and frequency stretches the res ources of even the best - prepared countries. Recent experiences have shown that the 3 region could do more to build a substantive capacity for preparing for and managing disasters, including facilitating a rapid multilateral and cross - agency response capacit y. The bulk of government - led international assistance in a given disaster situation is generally provided on a bilateral basis and in response to a specific request by the government of the affected country. The right to offer, invite, accept or refuse assistance in a disaster situation resides with national governments. But the EAS can provide direction, impetus and institutional support to a more cohesive, coordinated and effective regional disaster management and response effort. Current Policy Res ponses 5. In response to such natural disasters, the Association of South East Asian Nations (ASEAN), the East Asia Summit (EAS), the ASEAN Regional Forum (ARF), and many other groupings and mechanisms have made arrangements on disaster mitigation and managem ent a priority. 6. Complex and overlapping sub - national, national, regional and global arrangements for disaster preparedness, response and relief risk confounding efforts to build the region’s disaster management and response capacity rather than assisting t hem. 7. The EAS itself has expressed its firm resolve to cooperate on reduction and management by adopting the 2009 Cha - am Hua Hin Statement on EAS Disaster Management. In addition, there is a range of agreements and arrangements under ASEAN, the ASEAN Region al Forum and between ASEAN and various Dialogue Partners, namely the: a. ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER), which seeks to reduce disaster losses and jointly respond to disaster emergencies through regional and internation al cooperation; b. ASEAN Standard Operating Procedure for Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations; c. ASEAN Declaration on Cooperation in Search and Rescue of Persons and Vessels in Distress at Sea; d. Agreement on the Establishment of the ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance; e. ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM), which meets twice a year and ACDM+3 which meets once a year; f. ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus (ADMM - Plu s), which has established an Experts’ Working Group on humanitarian assistance and 4 disaster relief; g. ASEAN Regional Forum (ARF), which has a long - standing inter - sessional meeting process on disaster relief and has held desk - top and field exercises; h. Asian D evelopment Bank, which assists countries in reducing vulnerabilities to risk and responding faster to disaster impacts, including through grants to developing member countries affected by natural disasters; and i. APEC’s Emergency Preparedness Working Group, which seeks to improve the region’s preparation for and response to emergencies and disasters by helping to reduce risk and building business and community resilience. 8. Despite the proliferation of such arrangements and agreements, a basic challenge remains : is the region now actually better prepared to respond to natural disasters in a rapid, timely and effective manner, especially in the immediate life - saving moments? A Strengthened Role for the EAS 9. In recognition of the existing efforts, the objective in the context of the EAS is to simplify and improve existing arrangements to better prepare for and manage natural disasters and to rapidly and effectively respond in the immediate aftermath of a natural disaster to maximize life saving efforts. 10. The aim i s not to create another institution but to make existing institutional arrangements work effectively. 11. While significant progress has already been made, further work needs to be done by EAS participating countries , particularly through ASEAN mechanisms, to continue to enhance national preparedness, reduce risk, and build capacity for countries in the region to be able to: better self - manage disasters in their own territory; assist with responding to disasters elsewhere in the region; and better receive, coor dinate and integrate international assistance when national capabilities are overwhelmed in a disaster situation. 12. Recent experience has highlighted three clusters of issues where gaps in regional readiness and response exist and in relation to which greate r effort by EAS participating countries would have a positive effect, namely: a. Cluster I – information - sharing; b. Cluster II – overcoming bottlenecks; and c. Cluster III – capacity building and promoting collaboration and 5 partnership in disaster response (inte roperability). 13. It is proposed that the EAS consider focusing its disaster preparedness and response efforts around these three clusters. Cluster I – Information - sharing 14. The Cha - am Hua Hin Statement highlighted the importance of establishing a network to provide timely and reliable information as well as rapid disaster response. Recent experience has served as a reminder that real - time information exchange in the immediate aftermath of disasters remains a particular challenge. For this reason, considerati on should be given to developing and strengthening online AHA Centre information - sharing portal to disseminate information to EAS participating countries . The information - sharing portal would, among others, have three main functions: a. Real - time information The portal would allow countries to share information on disasters in real - time. This information could include casualty and damage assessments, as well as initial response measures by the disaster - affected country. In addition, disaster impact informati on could also be provided by third countries, for example, through satellite images, with the consent of the affected country. This would inform the response planning of donors and allow faster communication than is possible through diplomatic channels. b. Resource matching The portal would allow disaster - affected countries to list what resources, supplies and equipment they needed. If a donor supplied the requested resource, this would be recorded on the portal. This would avoid duplication of effort by don ors. c. Other policy and operational gaps Other issues that the portal could help address, but which would also need to be addressed collectively by EAS participating countries through other means, include: lack of comprehensive regional vulnerability and h azard mapping, coupled with inaccurate or insufficient resource gap analysis which can lead to inappropriate assistance being requested and/or offered; limited sharing of information or information - gathering and analysis capability and lack of a cohesive or agreed system to 6 ensure quick collection and exchange of data when a disaster occurs; limited on - the - ground coordination of international responses, including matching offers of assistance to requests and needs; international assistance that does not a lways support national disaster response priorities; specific capacity or capability gaps that vary by country and requirement, for example, in strategic airlift, urban search and rescue, advanced data collection and mapping; and the lack of a comprehensiv e understanding of what resources, assets and capabilities are available in the region to assist when required and what the key capability gaps are in a given country or region. d. Outreach With the consent of EAS participating countries, the portal could al so serve as a source of information to various non - EAS entities including relevant international organizations and other non - governmental humanitarian disaster - relief agencies. The portal could enhance these relevant entities’ rapid and effective involvem ent and participation in disaster relief efforts. Cluster II – Overcoming bottlenecks 15. EAS participating countries have shown willingness to mobilise assets and capacities as appropriate in an effective and timely manner in response to disasters. There nev ertheless remain a number of bottlenecks that impede the timely delivery of support. These include requirements related, but not limited to, licensing, visas, customs barriers, quarantine, taxation and privileges and immunities. 16. Consideration should be giv en to ways in which EAS participating countries could remove or minimise such bottlenecks. 17. EAS participating countries should consider mechanisms to allow rapid deployment and acceptance of assistance personnel and supplies, including through the developme nt and use of voluntary model arrangements and/or binding bilateral agreements, taking into account the existing mechanisms in the region. 7 Cluster III – Capacity building and promoting collaboration and partnership in disaster response (interoperability) 18. Better management of and responses to regional disasters are impeded in part by: a. varying institutional capacity to receive appropriate international assistance quickly when this is offered; and b. varying capacity for international responders (government and non - government) to be trained and accredited to a certain standard and to be self - sufficient and self - contained once deployed to a disaster. 19. EAS participating countries should promote capacity building, including through disaster relief exercises, trainin g, workshops and exchanges of staff and/or secondments, including in the cluster I and II areas as identified above. 20. Capacity building activities in the form of exercises can also be undertaken through existing mechanisms, including the ASEAN Regional Disa ster Emergency Response Simulation Exercise (ARDEX) and ARF Disaster Relief Exercise (DiREx). Way forward 21. Each EAS participating country shall designate a national focal point, or sherpa, in disaster rapid response preparedness, preferably the head of i ts disaster management agency. 22. The nat ional focal po int will take the lead for EAS country delegations which would meet twice a year or when it deems necessary in the form of an expanded ASEAN Committee for Disaster Management (the expanded ACDM) . 23. The exp anded ACDM would meet back - to - back with the ACDM and would report to East Asia Summit (EAS) leaders through the EAS SOM and EAS Foreign M i nisters’ C onsult ations. a. In rec ognition of the new work to be undertaken and the importance of implementing leaders’ de cisions, the expanded ACDM would be supported by a secreta rial unit attached to AHA Centre , to be funded by Australia, with contributions from other EAS part i cipating countries on a voluntary basis. b. The expanded ACDM would consult closely with the ADMM - Plu s Experts’ Working Group on Humanitarian and Disaster relief and the ARF ISM on Disaster Relief. 8 24. In its first three years, the expanded ACDM would be guided by a work program based on the schema set out below. Year 1 (2012) 25. Year one would focus on develop ing a work program and identifying necessary institutional reform options that would maximise coordination of existing regional disaster response mechanisms. a. The expanded ACDM would be established with responsibility for providing to leaders options for th e best possible coordination of existing institutional arrangements. b. Developing and strengthening online AHA Centre information - sharing portal to provide timely and reliable information as well as rapid disaster response c. In developing options for leaders, the expanded ACDM would consider appropriate arrangements to allow rapid deployment and acceptance of personnel and supplies, including the development and use of voluntary model arrangements, binding bilateral agreements and/or the development of a region al arrangement to remove or minimise bottlenecks. d. Based on input from the heads of EAS countries’ disaster management agencies (HDMAs), the expanded ACDM would identify licensing, quarantine, customs, taxation and legal barriers which can prevent, impede o r delay the implementation and repatriation of specialised equipment and capabilities (such as tents, specialised tools and sniffer dogs) and propose solutions. e. HDMAs would establish and make available through the expanded ACDM /information portal a registr y of national official requirements for rapid admission and accreditation of skilled professionals (law enforcement, medical) in a disaster situation. f. HDMAs would also disseminate world’s best practice systems and share lessons learned from recent disaster s. Year 2 (2013) 26. Activities in year two should focus on desk - top exercises covering a range of scenarios, including: a. flooding, seismic events or fire management or areas of sectoral expertise such as deceased victim identification, urban search and rescue , 9 medical, engineering, law enforcement i. identifying the full range of strengths and weaknesses of existing systems and capabilities; and ii. linking with ARF and ADMM - Plus exercises when they are held to help ensure these are effective and useful for strengthe ning regional response capacities. 27. Other year - two activities should include: a. Developing a register of disaster - relief assets, emergency stores and resources (including human resources) and niche capabilities that countries in the region are able to make available at short notice for disaster response; b. Identifying gaps in regional disaster response capacity; and c. Exploring or facilitating temporary exchanges of staff or secondments of staff between national disaster management organisations and/or emergenc y services. Year 3 (2014) 28. EAS participating countries would look to full operational exercising of the new institutional arrangements and desk - top planning exercises put into place in years one and two in order to: a. strengthen regional rapid response capac ity through increased operability of EAS disaster management capabilities; and b. simulate large - scale relief operations at (an) agreed venue(s) within the region. 29. Following large - scale field exercises, EAS participating countries would look to finalise new p olicy, institutional and operational arrangements. a. T o enhance existing arrangements, including the ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM), to a more cohesive, coordinated and effective regional disaster management and response effort/preparedness. b. A gree to a schedule of desk - top and field - operational exercising into the future.

Selasa, 13 September 2016

KPK Akan Terjun ke Daerah Maluku... Cek Izin Usaha Tambang yang Bermasalah

KPK Akan Terjun ke Daerah Cek Ribuan Izin Usaha Tambang yang Bermasalah
Melihat informasi berita hari ini mengenai Evaluasi Izin Tambang PT.GBU.oleh Ketua DPRD Provinsi Ambon melalui media koran di ambon ...yang menyatakan bahwa ijin tersebut akan di selidiki oleh KPK..apakah pemerintah dan DPRD mampu melakukan hal ini..karena informasi yang berasal dari masyarakat..dan sesuai pernyataan ketua KPK...dan apakah Pihak DPRD provinsi Maluku dapat melaporkan hal ini atau hanya hanya gertakan sambal belaka....dari ketua DPRD Provinsi Maluku..????? karena sudah ada pernyataan seperti di bawah ini dari Ketua KPK... Jakarta - Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan akan menerjukan timnya melakukan pengecekan ribuan izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah di sejumlah daerah di Indonesia. Tim KPK akan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dan Menteri ESDM Sudirman Said. "Ada lebih dari 5000 izin usaha pertambangan diidentifikasi, 3.900-an masih bermasalah. Kita akan ambil langkah-langkah terkoordinasi dan cepat. KPK akan turunkan tim bersama Kementerian ESDM dan Kemendagri agar 3.900-an itu bisa diselesaikan dalam waktu tidak lama," kata Agus saat jumpa pers di kantornya bersama Tjahjo dan Sudirman, Senin (15/2/2016). Di tempat yang sama, Sudirman menyebut sejak 2011 pemasukan keuangan negara sampai Rp 10 triliun di bidang mineral dan batu bara serta kewajiban pengusaha tambang terindikasi senilai Rp 23 triliun. Sudirman menyebut IUP dengan kategori non clear and clean berjumlah 3.966. "Kita dukung lagi struktur industri lebih sehat dengan cara meyakinkan pelaku bisnis agar benar-benar memiliki persyaratan legal, menjaga lingkungan, menjaga keselamatan kerja dan secara finansial sehat," kata Sudirman. Sementara itu, Tjahjo menyebut dalam pertemuan dengan KPK ada 21 gubernur yang hadir dari 32 gubernur yang diundang. Tjahjo pun mendorong agar koordinasi dan supervisi yang dilakukan KPK berjalan dengan baik. "Pada prinsipnya kerja sama ini ingin dipercepat penjabaran UU 23 dan UU Minerba yang ada, ingin tertata izin usaha pertambangan dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kewajiban keuangan pelaku usaha minerba, pelaku industri, pengolahan hasil tambang termasuk penjualan dan pengangkutan," kata Tjahjo. Menurut Sudirman ada momentum gubernur baru agar menata daerahnya tentang izin usaha pertambangan. Apabila nantinya ada yang tidak memenuhi syarat tentu akan dicabut izinya. "Kalau sama sekali tidak memenuhi syarat ya dicabut. Motifnya jelas, ada sanksinya mulai teguran tertulis, pembekuan sementara dan sampai pencabutan IUP," kata Sudirman. Sementara itu Tjahjo menambahkan, Presiden Jokowi pernah mengungkap tumpang tindih perizinan di sejumlah provinsi di luar Jawa. Dari permasalahan tersebut diharapkan KPK dapat menindaklanjutinya. "Presiden Jokowi pernah mengungkapkan rata-rata per provinsi di luar Jawa 3000-an tumpang tindih perizinan kehutanan, perkebunan, pertambangan. Ini minta dipercepat. KPK dapat mempercepat agar yang salah ya salah harus segera diproses," sebut Tjahjo. Dalam pertemuan tertutup tersebut hadir 21 dari 32 gubernur yang diundang, khusus untuk Bali dan DKI Jakarta tidak diundang lantaran tidak ada izin tambang. Beberapa gubernur yang tampak hadir yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Plt Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry dan lainnya. (dhn/fdn)