Senin, 06 Februari 2017

Panorama pancaran wisata terbaru di kepulauan tanimbar masih banyak yang belum mengetahui kalau wisata tanimbar di desa atubulda sangat indah ,apalagi dengan terumbu karangnya di pulau kore dan nesmesh..dapat berkunjung di sana ..dan bisa kontak dalam blog spot ini..trimakasih..
Dokument desa yang menjadi acuan program di desa atubul MTB Dokument RPJMDES ini masih banyak yang belum dipahami oleh kepala desa, di MTB sehingga masih banyak desa -desa bekerja belum memiliki dokument tersebut.. sehingga dengan pemikiran sendiri mulai membuat dokumentini dari hasil aspirasi masyrakat di desa.. dan juga dengan sejumlah anggaran desa yan mengacu dari RPJMDES yang akan di jabarkan kedalam RKPDES seama setahun. lebih mengenal hal ini bisa brikan tanggapan dalam blog tersebut..trimakasih..

Rabu, 02 November 2016

Hari Ini KPK Terima Laporan Gratifikasi GBU

Hari Ini KPK Terima Laporan Gratifikasi GBU, 27 oktober 2016 AMBON, AE.— Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK hari ini menjadwalkan menerima laporan langsung dari Koalisi Save Romang bersama Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) terkait dugaan gratifikasi PT Gemala Borneo Utama kepada sejumlah pejabat di Maluku. Sementara Organisasi Kepemudaan yang tergabung dalam kelompok Cipayung akan bertemu Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, Kamis (27/10) malam. Sebelumnya, PMKRI Pusat dan Barisan Anak Indonesia Timur (BATU) melakukan unjuk rasa di kantor kementrian ESDM, Rabu (26/10). Mereka meminta agar Kementrian ESDM mencabut izin pertambangan emas PT.GBU. Ketua Kalesang Maluku, Constansius Kolafeka yang ikut dalam aksi tersebut mengatakan, Kementrian ESDM akan mengkaji izin-izin PT.GBU yang telah dikeluarkan, sehingga menjadi pertimbangan. Respon kementrian ESDM, KKP dan KLHK serta LSM lingkungan tersebut, seharusnya menjadi pertimbangan lain bagi gubernur untuk mencabut Izin Usaha Produksi (IUP) PT.GBU. “Pernyataan dari kepala informasi dan komunikasi Kementrian ESDM ini mesti dipertimbangan dengan baik oleh Gubernur Maluku. Karena gubernur sendiri sudah melihat secara langsung penolakan dari warga. Kemudian, dokumen penolakan itu pun sudah disampaikan ke kementrian, dalam bentuk dokumentasi dan data otentik,” kata Constansius. Selain Kementrian ESDM, Koalisi Save Romang berencana meneruskan laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (27/10) hari ini. Kemudian dilanjutkan ke Polri. Constansius Kolafeka menjelaskan, laporan ke KPK dan Polri, terkait dengan dugaan gratifikasi dana Coorporation Social Responsibility (CSR) PT.GBU. Olehnya itu, telah diagendakan setelah menerima laporan, KPK akan berdiskusi langsung dengan sejumlah LSM dan NGO lingkungan yang menolak aktivitas pertambangan di pulau Romang. “Besok (hari ini) pertemuan dan langsung ada respon resmi dari KPK terhadap JATAM, karena kasus yang dibawa ke sana adalah kasus Romang. Kemudian KPK akan melakukan diskusi dengan seluruh LSM, dan OKP Cipayung,”jelasnya. Cipayung akan menggelar pertemuan dengan Kapolri dan menyerahkan dokumen pada malam Jumat. Salah satu agenda pembicaraan dengan Kapolri adalah kaitan dengan kasus Romang. Baik dugaan gratifikasi maupun dugaan keterlibatan Polri. OKP Cipayung juga akan menggelar pertemuan dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian. Selain dugaan gratifikasi, pembicaraan juga akan difokuskan pada dugaan keterlibatan oknum Polri yang pro terhadap tambang. Sebelumnya mereka juga sudah bertemu dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bersama sejumlah LSM KLHK dan KKP akan turun langsung ke Romang, karena izinnya dituding melanggar Undang-Undang. Ketua Koalisi Save Romang, Collin Leppuy mengatakan, komitmen KLHK ini disampaikan setelah koalisi Save Romang mendatangi instansi itu untuk melaporkan kasus Romang, Selasa (25/10). “Intinya, KLHK dalam 2 minggu ke depan akan membentuk tim untuk turun langsung ke Romang. Itu pernyataan resmi dari Ibu Vivien, direktur pengaduan, pengawasan dan sanksi. Beliau sangat responsif,”kata Collin kepada Ambon Ekspres, Rabu (26/10). Selain KLHK, koalisi Save Romang juga membawa kasus Romang ke Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan bertemu dengan Direktur Pulau-Pulau Kecil, Rido Batubara. Kementrian yang dipimpin Susi Pudjiastuti itu merespon positif aduan koalisi. Collin mengatakan, setelah melihat dokumen laporan koalisi Save Romang, KKP berkesimpulan sementara bahwa, Surat Keputusan Gubernur Maluku nomor 260.b Tahun 2015 tentang persetujuan izin usaha pertambangan operasi produksi emas kepada perseroan terbatas Gemala Borneo Utama di Kabupaten MBD, menyalahi ketentuan Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau –pulau kecil, pasal 26A. Pasal itu berbunyi, Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “KKP menyimpulkan bahwa gubernur telah melanggar UU nomor 1 tahun 2014 pasal 26A,”ungkap dia. Seperti diberitakan sebelumnya, dalam SK gubernur tersebut tidak mencantumkan UU nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau –pulau kecil, sebagai dasar pertimbangan. SK itu diterbitkan dengan menimbang SK bupati MBD nomor 540-480 tahun 2014 tentang persetujuan izin usaha pertambangan operasi produksi emas kepada perseroan terbatas Gemala Borneo Utama yang ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2014. Selain ancaman kerusakan lingkungan, UU nomor 1 tahun 2014 juga telah mengisyaratkan, tidak bisa dilakukan aktivitas di Pulau Romang. Sebab, luas pulau ini hanya sekitar 7.000 hektar (Ha) berdasarkan data KKP. Dalam UU itu dijelaskan, pulau dengan luas kurang dari 20 hektar tidak dapat dijadikan sebagai lokasi aktivitas pertambangan. Sehingga, lanjut Collin, KKP juga akan membentuk tim untuk turun langsung ke Romang. Selaian dua kementrian itu, beberapa LSM berskala nasional juga akan turun, diantara Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) serta Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Dia berharap, KLHK dan KKP objektif dalam melihat kondisi Romang dan membuat keputusan.”Dan lebih mementingkan aspirasi masyarakat yang hidup di pulau Romang, yang menurut KKP luasnya hanya 7.000 Ha atau 7 kilometer,”pintanya. Selain itu, KKP sesuai kewenangan harus mengeluarkan sanksi tegas kepada Gubernur Maluku, Said Assagaff dan Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku Martha Nanlohy, karena dinilai melanggaran UU pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau –pulau kecil. “Dan mendesak kementrian ESDM mencabut izin PT.GBU. Harapan kita juga ke KLHK, bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan yang diterbitkan KLHK kepada PT.GBU harus dicabut,”tambah dia. (TAB/MG2/AHA)

DEMO MAhasiswa Ambon Tentang GBU di Pulau Romang

Demo Mahasiswa Kembali Nyaris Bentrok tentang PT.GBU di pulau Romang berita ini di lansir oleh Ambon eksprees tanggal 22 Oktober 2016 AMBON, AE.— Setelah diamuk polisi, kini elemen mahasiswa bersatu. Mereka menuntut pertanggungjawaban polisi terkait penganiayaan terhadap ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Ambon, Asrul Kaisuku. Wakil rakyat pun marah atas tindakan premanisme aparat kepolisian berseragam lengkap. Demo kemarin pun nyaris bentrok. Tindakan polisi terhadap pembubaran massa yang menggelar demo sudah berulang kali terjadi. Tak hanya demo dua hari lalu, sebelumnya polisi juga kerap membubarkan paksa mahasiswa dan warga Romang yang berdemo menuntut Gubernur Maluku Said Assagaff mencabut ijin pertambangan PT GBU di Romang, Maluku Barat Daya. Insiden penganiayaan terhadap Asrul terjadi dua hari lalu saat aksi mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yang berlangsung Gong perdamaian, dalam memperingati dua Tahun masa kerja pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Mereka dibubarkan secara paksa. Polisi-pun menunjukan sikap arogansinya dengan membubarkan massa yang berjumlah sekitar 30 orang itu. Tidak hanya membubarkan polisi langsung menyeret ketua KAMMI, hingga pakaiannya sobek. Ini karena ijin aksi tidak dikantongi mahasiswa. Informasi yang diperoleh koran ini menyebutkan pada Senin lalu, sejumlah perwakilan KAMMI menyampaikan surat pemberitahuan (bukan surat izin) kepada Polres Pulau Ambon. Namun petugas jaga meminta pihak KAMMI kembali memperbaiki suratnya. Setelah dilakukan perbaikan sesuai permintaan pihak kepolisian, keesokan harinya surat dengan perubahan yang diinginkan kembali dimasukan ke Polres. Tapi anehnya tidak ada yang mau menerima surat pemberitahuan KAMMI terkait aksi. Rabu (19/10) pihak KAMMI kembali mendatangi Polres untuk menyampaikan surat itu, namun tetap saja ditolak dengan alasan deadline waktunya harus tiga hari sebelum aksi. Hari Kamis kemarin, sesaat sebelum dilakukan aksi, sudah ada oknum polisi yang meminta agar aksi dihentikan. Jika tetap dilakukan maka akan dibubarkan dengan alasan aksi yang tidak memiliki izin. Mendengar ancaman ini, Pihak KAMMI Kota Ambon dan Beberapa aktivis IMM merasa pada posisi benar. Sebab niat baik untuk memberitahukan aksi unjuk rasa sudah disampaikan. Setelah adu mulut beberapa jam, sekitar pukul 11.00 WIT mendadak Ketua KAMMI diseret dari atas tribun Lapangan Merdeka. Ketua KAMMI sebelum ditarik dan diseret, dirinya bersama para pengunjuk rasa sudah bertekad menghentikan aksi. Ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Mereka sendiri bahkan meminta agar perjalanan mereka ke kantor DPRD untuk audens tidak dihalau. Permintaan ini juga tidak diizinkan. Dan akhirnya terjadilah tindakan tersebut. Akibat tindakan itu, Jumat sore kemarin, ratusan mahasiswa dari KAMMI dan IMM, kembali mendatangi Mapolda Maluku, dengan mendesak kapolda copot Kapolres serta kasat Intel dan Kasat Sabahara. Ketegangan antar polisi dan mahasiswa juga sempat terjadi digerbang utama institusi itu. Tidak hanya tegang tiga orang mahasiswa pun ikut diseret paksa oleh polisi dan diamankan kedalam Mapolda Maluku. Mereka yang diamankan itu kordinator lapangan Edy Irsan Elis, Irul Marasabessy, Madina Rumodar. Selang beberapa saat ketiga orang itu kemudian dilepaskan, aksi tetap berjalan. Anggota Komisi A DPRD Maluku Amir Rumra, mengatakan tindakan aparat keamanaan dinilai tidak manusiawi dan sudah bertentangan dengan UU penyampaian aspirasi di depan publik bagi setiap warga Negara Indonesia. “Negara kita adalah negara hukum, jadi ada aturan yang membolehkan setiap warga Negara berhak menyampaikan aspirasinya di depan umum, selama itu tidak bertetangan dengan aturan. Namun yang dilakukan aparat kepolisian Polres Ambon, sangatlah tidak manusiawi,”sesal politisi asal PKS itu, kepada wartawan di kantor DPRD Jumat kemarin. Alasannya tidak ada pemberitahuan sebelumnya oleh sekelompok mahasiswa, hingga aksi dapat dibubarkan harusnya dilakukan dengan cara yang elegan. Rumra berjanji akan mendalami insiden itu, hingga memanggil kapolda Maluku secara kelembagaan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya. Mahasiswa juga mengancam jika Kapolda tidak segera menindaklanjuti dugaan tindak penganiayaan secara serius, mahasiswa akan melakukan aksi lebih besar lagi. “Kami akan membangun konsolidasi terhadap seluruh OKP baik di Kota Ambon maupun skala nasional, perwakilan OKP Cipayung diseluruh wilayah NKRI, untuk melihat persoalan ini,”ancam mahasiswa. LBH Lapor Tak hanya DPRD dan mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemuda Maluku, juga turut menyayangkan tindakan polisi. “Kami akan mengumpulkan seluruh bukti-bukti terkait dugaan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum polisi itu, untuk selanjutnya kita laporkan secara resmi ke Propam Polri dan Kompolnas,” kata sekretaris LBH Pemuda Samuel Riry kepada koran ini terpisah. Mereka juga akan melaporkan hal ini ke Komnas HAM dan Ombudsman RI. Polisi kata Riry, seharusnya tidak bertindak arogansi, karena mereka mitra bagi masyarakat. Terpisah pihak kepolisian sendiri mengatakan, tindakan terhadap mahasiswa itu sebagai bentuk pembelaan diri, lantaran mahasiswa sendiri nekat merampas senjata api yang berada di tangan polisi. “Kami hanya membela diri, karena mereka mau merampas senjata kami. Kami juga merasa terancam makanya kami langsung membubarkan aksi mereka,” kata sejumlah oknum anggota polisi di Mapolda Maluku kemarin. Menanggapi hal itu, Riry mengaku, bila hal itu terjadi seharusnya polisi lebih mengutamakan langkah persuasif bukan langsung dengan cara kekerasan. (TIM)

Rabu, 19 Oktober 2016

Kebijakan Satu Peta Perlu Akomodasi Peta Partisipatif

Kebijakan Satu Peta Perlu Akomodasi Peta Partisipatif Pemberian konsesi lahan kepada perusahaan sering menimbulkan konflik sosial karena di atas lahan itu ada hak masyarakat hukum adat. Apalagi sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan hutan adat dari hutan negara. Deputi Bidang Operasional BP REDD+, William Sabandar, mengakui selama ini pemerintah cenderung absen dalam melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Untuk mengembalikan kehadirannya pemerintah menggulirkan kebijakan satu peta atau one map policy. Artinya, ada satu peta yang digunakan sebagai acuan oleh semua lembaga pemerintahan sebelum menerbitkan izin atau konsesi lahan. Dikatakan William, kebijakan satu peta itu harus mampu mengakomodasi pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarkat terhadap daerahnya. Setelah berkunjung ke beberapa daerah, termasuk Papua, William menjumpai masyarakat hukum adat kebingungan setelah membuat peta. Mereka tidak tahu peta itu dilaporkan kemana agar wilayah adat mereka tidak diambil alih perusahaan. William melihat sampai sekarang belum ada aturan yang dapat memberi payung hukum terhadap peta partisipatif yang dibuat masyarakat. “Lalu bagaimana mengintegrasikan peta partisipatif itu dalam kebijakan satu peta. Itu penting sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat,” katanya dalam jumpa pers yang diselenggarakan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) di Jakarta, Rabu (12/10). William berpendapat harus ada lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengakomodasi pemetaan partisipatif itu. Sehingga lembaga tersebut dapat menjadi mitra Badan Informasi Geospasial (BIG). Mengacu UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, BIG berwenang mengintegrasikan berbagai peta dalam kebijakan satu peta. “Harus diputuskan siapa yang bertanggung jawab mengurusi peta partisipatif itu apakah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” tukasnya. Deputi III Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Arifin Saleh, mengatakan tren pengakuan terhadap masyarakat hukum adat semakin menguat. Itu dapat dilihat sejak terbitnya putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang pengukuhan hutan adat. Selain itu RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pernah dibahas di DPR. Dalam rangka penguatan masyarakat hukum adat, Arifin mengatakan AMAN sempat diminta masukannya oleh Tim Transisi Jokowi-JK soal prioritas program kerja pemerintah dalam setahun. AMAN mengusulkan dalam setahun pemerintah harus mengakomodasi minimal seribu peta partisipatif masyarakat dan meregistrasinya. “Peta partisipatif itu penting untuk mengurangi konflik yang kerap terjadi di wilayah masyarakat hukum adat,” urainya. Koordinator Nasional JKPP, Deny Rahadian, mengatakan kebijakan satu peta sering disebut sebagai cara untuk mengatasi konflik agraria dan tenorial. Sekarang, ada 5,2 juta hektar wilayah masyarakat adat yang sudah dipetakan. Sayangnya, peta itu belum dapat dimasukan dalam kebijakan satu peta oleh BIG karena masalah standar pemetaan. Padahal, masyarakat hukum adat lebih tahu mana saja yang menjadi wilayah mereka. Walau begitu Deny mengapresiasi BIG yang menyiapkan infrastruktur, sistem dan standarisasi dalam rangka melaksanakan kebijakan satu peta. Standar Operasi Prosedur (SOP) pemetaan partisipatif juga sudah diterbitkan. Bahkan proses pembentukan SOP itu melibatkan organisasi masyarakat sipil termasuk JKPP, akademisi dan peneliti. Tapi, Deny menyorot ada perbedaan persepsi antara SOP pemetaan partisipatif yang dibentuk BIG itu dengan harapan organisasi masyarakat sipil. Sebab, SOP itu tidak memasukkan hak-hak masyarakat hukum adat/lokal. Padahal, hak-hak itu layak untuk diperhatikan. Dari diskusi organisasi masyarakat sipil dengan berbagai lembaga pemerintah seperti BIG, UKP4, Kemenhut dan BPN dihasilkan rekomendasi agar organisasi masyarakat sipil membuat SOP pemetaan partisipatif. Lewat berbagai organisasi yang tergabung dalam JKPP, SOP itu telah dibentuk. Kemudian diharapkan SOP itu mendapat sertifikasi SNI dari Badan Standarisasi Nasional (BSN). “Kami harap pemetaan partisipatif yang telah dilakukan masyarakat dengan mengikuti SOP tersebut dapat diakui. Lalu diintegrasikan dalam kebijakan satu peta,” usul Deny. Setelah peta partisipatif itu masuk dalam kebijakan satu peta, Deny menginginkan agar tidak ada lagi tumpang tindih penguasaan lahan dan ruang. Jika masih ada persoalan maka pemerintah bertanggungjawab untuk menyelesaikannya. SOP pemetaan partisipatif dari masyarakat sipil menurut Deny tidak hanya berisi rincian bagaimana membuat peta partisipatif, tetapi juga menekankan keterkaitan wilayah yang dipetakan dengan hak-hak yang dimiliki masyarakat lokal yang menempatinya. “Masyarakat adat sebagai pelaku utama karena mereka yang mengerti wilayahnya,” paparnya. Namun Deny menyebut SOP pemetaan partisipatif bentukan organisasi masyarakat sipil itu harus melewati sejumlah proses sebelum mendapat sertifikasi SNI. Diantaranya, harus melakukan konsultasi publik dan melibatkan pakar

kasus hak ulayat di wilayah MBD Propinsi Maluku

Berbicara tentang hak ulayat di suatu wilayah Di Negara ini banyak sekali panduan dan aturan baru termasuk dalam Permen no. 10 2016 dan juga Permen no. 5 tahun 1999 yang telah di cabut . Contoh : Kasus Hak ulyat yang terjadi di suatu wilayah maluku tenggara barat daya (Pulau Romang ) dengan Perusahaan PT.GBU sekarang. pijakan yang terjadi adalah hak ulayat berdasarkan cerita adat yang telah di keluarkan oleh tua -tua adat dan pemerintahan jaman dulu. tetapi hal ini masih berlanjut dan belum di terima oleh masyarakat adat yang lain karena selama ini ada cerita hak ulayat ini adalah berdasarkan pemakaian lahan secara bersama. Yang perlu di cermati adalah hak ulayat ini mulai berkuak di tengah pembangunan karena adanya keuntungan ekonomi ..sehingga timbul pemikiran dari kelompok tersebut yang harus mendapatkan keuntungan ,,sehingga muncul konflik konflik tertentu.. sekarang yang harus di pikirkan adalah duduk bersama dan mulai dengan melakukan pemetaan lahan adat tersebut, karena dalam pemetaan tersebut akan ada cerita cerita dulu yang dapat di dengar bersama dan terjadi pemahaman bersama, sehingga bisa ada kesepakatan kesepakatan yang di buat secara bersama tentang hak ulayat tersebut. Memang dalam pelaksanaan tidak mudah..maka butuh fasilitator untuk menfasilitasi hal ini, sehingga netral dan tidak menimbulkan suatu kecurigaan tertentu dari kelompok adat di suatu wilayah. setelah adanya kesepkatan kesepkatan dari kelompok adat tentang hak ulayat baru bisa di sandingkan dengan Undang-undnag agraria tau permen agraria sebgai dasar konstitusi.

Penegakan Hukum Konflik Agraria Terkait dengan Hak-Hak Masyarakat Adat

akarta, WARTA BPHN Kebijakan terkait dengan masyarakat adat yang paling banyak disorot selama ini adalah di bidang tanah dan sumberdaya alam. Sebab pada lapangan itulah konflik-konflik antara masyarakat adat, instansi pemerintah dan pengusaha terus berlangsung. Kebijakan di bidang tanah dan sumberdaya alam sudah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. TAP MPR ini merupakan salah satu TAP MPR yang masih tetap berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status HUKUm TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 serta diperkuat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan kita oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukan TAP MPR secara hierarki berada di bawah UU/Perpu, demikian Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional, Pocut Eliza, S.Sos. SH.,MH dalam pembukaan kegiatan Pemaparan Hasil Penelitian mengenai Penegakan Hukum Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-Hak Masyarakat Adat yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, Kamis (19/11). Dari konteks kelahirannya, TAP MPR tersebut merupakan manifestasi semangat reformasi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam supaya lebih responsif terhadap keberadaan masyarakat adat. salah satu prinsip Pembaruan Agraria adalah mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria. Setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 Pengujian Terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, hal ini belum menjadi menjadi landasan yang kuat bagi masyarakat. Karena Peraturan Perundang-undangan yang terkait agraria Yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat Adat bersebaran. Untuk itu diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan tersebut. Kondisi ini hal mudah untuk lakukan karena masih adanya ego sektoral dari masing-masing Kementerian dan lembaga yang berwenang di bidangnya masing-masing. Melihat kondisi ini maka BPHN memandang perlu untuk melakukan diskusi publik untuk melihat secara objektif bagi para pembentuk kebijakan utamanya dalam rangka Penegakan Hukum Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat Adat. Sehingga dapat mengetahui reaksi pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 terhadap Penyelesaian konflik Agraria serta mengetahui hambatan dan Upaya penyelesaian Penegakan Hukum Konflik Agraria Yang Terkait dengan Hak-Hak Masyarakat adat melalui mekanisme kearifan lokal. Selain itu BPHN dapat mengkaji kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam rangka upaya menyelesaikan Konflik Agraria yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Diharapkan pada pertemuan ini akan menghasilkan masukan-masukan konkrit, objektif bagi para pembentuk kebijakan, untuk penyempurnaan Hasil Penelitian Penegakan Hukum Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat adat oleh Pusat Penelitan dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN, pangkas Pocut Eliza. Lain halnya disampaikan oleh Ketua Tim, Ahyar Ary Gayo, SH., MH APU. Menurut beliau bahwa konflik Agraria yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak dipicu oleh alasan-alsan ketimpangan kepemilikan, penguasaan danpengelolaan sumber-suber agraria atau yang diebut ketimpangan struktur agraria. Selanjutnya, dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, hal ini belum menjadi kebaikan bagi masyarakat adat. Di Lapangan kiminalisasi masyarakat adat sangat tinggi dan luar biasa. Masalah dalam pengadaan tanah sskala luar untuk investasi infrastruktur, perkebunan, pertambangan dankehutanan atau istilah lebih memihak, “perampasan tanah”, sebagaimana dilaporkan oleh Komnas HAM dari tahun ketahun, selalu menjadi urutan pertama dari pengaduan rakyat. Akibat lanjutan dari konflik agraria adalah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekedar klaim atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain. Konflik agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi, termasuk yang mendorong penduduk desa bermigrasi kewilah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal ini menjadi sumber masalah baru di kota-kota. Lebih dari itu, artikulasi konflik dapat membentuk konflik lain seperti konflik antara petani pemilik asal tanah dengan pekerja perkebunan, konflik etnis antar penduduk asli dan pendatang, bahkan hingga konflik antar kampung atau desa, sebagian besar dilatarbelakangi oleh perebutan atas tanah, Sumber Daya Alam dan wilayah hidup. Masyarakat hukum adat saat keberadaannya seringkali terabaikan dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah yang menyangkut konflik-konflik agraria yang terus terjadi sampai saat ini dan tidak jarang permasalah ini terus bergulir, tandanya. *tatungoneal